Jumat, 31 Mei 2013

Hakekat Pendidik dan Peserta Didik

A.    Hakekat Pendidik
a.   Pengertian Pendidik
Dari segi bahasa, seperti yang dikutip Abudin Nata dari WJS, Poerwadarminta pengertian pendidik adalah orang yang mendidik[1]. Pengertian ini memberikan kesan, bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Pendidik dalam bahasa Inggris disebut Teacher, dalam bahasa Arab disebut Ustadz, Mudarris, Mu’alim dan Mu’adib. Dalam literatur lainya kita mengenal guru, dosen, pengajar, tutor, lecturer, educator, trainer dan lain sebagainya.
Sedangkan Pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peserta didik , baik petensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam[2].
Beberapa kata di atas secara keseluruhan terhimpun dalam kata pendidik, karena keseluruhan kata tersebut mengacu kepada seorang yang memberikan pengetahuan, keterampilan atau pengalaman kepada orang lain. Kata-kata yang bervariasi tersebut menunjukan adanya perbedaan ruang gerak dan lingkungan di mana pengetahuan dan keterampilan diberikan.
Dikutip dari Abudin Nata, pengertian pendidik adalah orang yang mendidik.Pengertian ini memberikan kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus pendidikan dalam persepektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau kita melihat secara fungsional kata pendidik dapat di artikan sebagai pemberi atau penyalur pengetahuan, keterampilan. Dari istilah-istilah sinonim di atas, kata pendidik secara fungsional menunjukan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya, bisa siapa saja dan dimana saja. Secara luas dalam keluarga adalah orang tua, guru jika itu disekolah, di kampus disebut dosen, di pesantren disebut murabbi atau kyai dan lain sebagainya.
Uraian singkat di atas tampak bahwa ketika menjelaskan pengertian pendidik selalu dikaitkan dengan bidang tugas atau pekerjaan. Jika dikaitakan dengan pekerjaan maka variabel yang melekat adalah lembaga pendidikan, walau secara luas pengertian pendidik tidak terikat dengan lembaga pendidikan. Ini menunjukan bahwa pada akhirnya pendidik merupakan profesi atau keahlian tertentu yang melekat pada seseorang yang tugasnya berkaitan dengan pendidikan. Didalam pendidikan ada proses belajar mengajar dengan kata lain adalah pengajaran.
Dalam Islam, orang yang paling bertanggung-jawab terhadap pendidikan adalah orangtua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan oleh dua hal yaitu pertama, karena kodrat yaitu karena orangtua ditakdirkan menjadi orangtua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggung-jawab mendidik anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orangtua yaitu orangtua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya.
Selain itu sukses tidaknya anak mereka juga sangat tergantung pada pola pengasuhan dan pendidikan yang diberikan di lingkungan rumah tangga. Inilah yang tercermin dalam QS. Al-Tahrim : 6 yang berbunyi:

            يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

     “Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
Kemudian pendidik berikutnya dalam pandangan Islam adalah guru/dosen. Sederhananya guru bisa disebut sebagai pengajar dan pendidik sekaligus. Dalam pendidikan formal tingkat dasar dan menengah disebut pendidik, sedangkan pada perguruan tinggi disebut dengan dosen.
Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam. Pertama, Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia. Ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya. Keempat, guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.
Salah satu hal yang menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru / pendidik. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian? Karena pendidik selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam sangat menghargai pengetahuan.
Sebenarnya tingginya kedudukan pendidik dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan, pengetahuan itu didapat dari belajar dan mengajar, yang belajar adalah calon pendidik, dan yang mengajar adalah pendidik. Maka, tidak boleh tidak, Islam pasti memuliakan pendidik. Tak terbayangkan terjadinya perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang yang belajar dan mengajar, tidak terbayangkan adanya belajar dan mengajar tanpa adanya pendidik. Karena Islam adalah agama, maka pandangan tentang pendidik, kedudukan pendidik, tidak terlepas dari nilai-nilai kelangitan.
Ada penyebab khas mengapa orang Islam amat menghargai pendidik, yaitu pandangan bahwa ilmu (pengetahuan) itu semuanya bersumber pada Tuhan :
………..لا عِلْمَ لَنَا إِلا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (٣٢)
 “……….Tidak ada pengetahuan yang kami miliki kecuali yang Engkau ajarkan kepada kami” (QS. Al-Baqarah : 32)
Ilmu datang dari Tuhan, pendidik pertama adalah Tuhan. Pandangan yang menembus langit ini tidak boleh tidak telah melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu itu tidak terpisah dari Allah, ilmu tidak terpisah dari pendidik, maka kedudukan pendidik amat tinggi dalam Islam.
Dari beberapa hadis dapat dilihat bahwa Nabi Muhammad SAW juga memposisikan pendidik di tempat yang mulia dan terhormat. Dia menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, sementara makna ulama adalah orang yang berilmu. Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidik termasuk ulama. Tegasnya, pendidik adalah pewaris para nabi. Ini bisa dilihat misalnya pada contoh hadis  berikut:
…..اْلعُلَمَاءُ وَرَاثَتُ اْلاَنْبِيَاءِ…..
Artinya : ……Para ulama (pendidik) adalah pewaris para nabi (Dari Abu Darda’ r.a. dan diriwayatkan oleh Ibn Majah)
Hadis di atas juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memberikan perhatian yang besar terhadap ”pendidik” sekaligus memberikan posisi terhormat kepadanya. Hal ini beralasan mengingat peran pendidik sangat menentukan dalam mendidik manusia untuk tetap konsisten dan komitmen dalam menjalankan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Kemudian ada pula hadits yang menjelaskan bahwa kedudukan orang ‘alim itu lebih unggul dibanding ‘abid. Juga hadits tentang pujian Nabi SAW terhadap orang yang belajar ilmu Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain.
b.   Peran Pendidik dalam Pengajaran
Pendidik dalam rangka pengajaran dituntut untuk melakukan kegiatan yang bersifat edukatif dan ilmiah. Oleh karena itu peran pendidik tidak hanya sebagai pengajar tetapi sekaligus sebagai pembimbing yaitu sebagai wali yang membantu anak didik mengatasi kesulitan dalam studinya dan pemecahan bagi permasalahan lainya. Dilain pihak pendidik juga berperan sebagai pemimpin (khusus diruang kuliah/kelas), sebagai komunikator dengan masyarakat, sebagai pengembangan ilmu dan penjabaran luasan ilmu (innovator), bahkan juga berperan sebagai pelaksana administrasi. Peranan pendidik dapat ditinjau dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas pendidik mengemban peranan–peranan sebagai ukuran kognitif, sebagai agen moral, sebagai inovator dan kooperatif.
Pendidik sebagai ukuran kognitif. Tugas pendidik umumnya adalah mewariskan pengetahuan berbagai keterampilan kepada generasi muda. Hal-hal yang akan diwariskan itu sudah tentu harus sesuai ukuran yang telah ditentukan masyarakat dan merupakan gambaran tentang keadaan sosial, ekonomi, dan politik. Karena itu pendidik harus mampu memenuhi ukuran kemampuan tersebut.
Pendidik sebagai agen moral dan politik. Pendidik bertindak sebagai agen moral masyarakat, karena fungsinya mendidik warga masyarakat agar melek huruf, pandai berhitung dan berbagai keterampilan kognitif lainnya. Keterampilan-keterampilan itu dipandang sebagai bagian dari proses moral, karena masyarakat yang telah pandai membaca dan pengetahuan, akan berusaha menghindari dari tindakan-tindakan kriminal dan menyimpang dari aturan masyarakat.
Pendidik sebagai innovator. Berkat kamajuan ilmu pengetahuan dan teknoligi, maka masyarakat senantiasa berubah dan berkembang dalam semua aspek. Perubahan dan perkembangan itu menuntut terjadinya inovasi pendidikan. Tanggung jawab melaksanakan inovasi itu diantaranya terletak pada penyelenggaraan pendidikan.
Peranan kooperatif dalam melaksanakan tugasnya pendidik tidak mungkin bekerjasama sendiri dan mengandalkan kemampuan diri sendiri. Karena itu para pendidik perlu bekerja sama antara sesama pendidik dan dengan pekerja-pekerja sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan dengan persatuan orang tua murid.
Dalam proses pengajaran dikelas peranan pendidik (mengadopsi istilah ‘guru’) lebih spesifik sifatnya. Peranan itu meliputi lima hal yaitu; (a) Pendidik sebagai model, (b) Pendidik sebagai perencana, (c) Pendidik sebagai peramal (d) pendidik sebagai Pemimpin (e) Pendidik sebagai penunjuk jalan atau sebagai pembimbing kearah pusat-pusat belajar.
Menambahkan hal itu Djamarah, menuliskan peran pendidik adalah;
a.   Korektor; Yaitu pendidik bisa membedakan mana nilai yang baik dan mana nilai yang buruk, koreksi yang dilakukan bersifat menyeluruh dari afektif sampai ke psikomotor
b.   Inspirator; pendidik menjadi inspirator/ilham bagi kemajuan belajar mahasiswa, petunjuk bagaimana belajar yang baik dan mengatasi permasalahan lainya.
c.   Informator; pendidik harus dapat memberikan informasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
d.   Organisator; Mampu mengelola kegiatan akademik (belajar)
e.   Motivator; Mampu mendorong peserta didik agar bergairah dan aktif belajar
f.    Inisiator; pendidik menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam pendidikan dan pengajaran
g.   Fasilitator; pendidik dapat memberikan fasilitas yang memungkinkan kemudahan kegiatan belajar
h.   Pembimbing; membimbing anak didik manusia dewasa susila yang cakap
i.    Demonstrator; jika diperlukan pendidik bisa mendemontrasikan bahan pelajaran yang susah dipahami
j.    Pengelola kelas; mengelola kelas untuk menunjang interaksi edukatif
k.   Mediator; pendidik menjadi media yag berfungsi sebagai alat komunikasi guna mengefektifkan proses interaktif edukatif
l.    Supervisor; pendidik hendaknya dapat, memperbaiki, dan menilai secara kritis terhadap proses pengajaran dan
m.  Evaluator; pendidik dituntut menjadi evaluator yag baik dan jujur.
c.    Tujuan Pendidik.
Pendidik adalah orang dewasa yang mempunyai rasa tanggung jawab untuk memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya demi mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk tuhan, makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.
Orang yang pertama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak atau pendidikan anak adalah orang tuanya, karena adanya pertalian darah secara langsung sehingga ia mempunyai rasa tanggung jawab terhadap masa depan anaknya.
Orang tua disebut juga sebagai pendidik kodrat. Namun karena mereka tidak mempunayai kemampuan, waktu dan sebagainya, maka mereka menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain yang dikira mampu atau berkompeten untuk melaksanakan tugas mendidik.

  1. Syarat-syarat dan Sifat-sifat Yang Harus dimiliki oleh Seorang Pendidik.
Syarat-syarat umum bagi seorang pendidik adalah : Sehat Jasmani dan Sehat Rohani. Menurut H. Mubangit, syarat untuk menjadi seorang pendidik yaitu :
1)   Harus beragama.
2)   Mampu bertanggung jawab atas kesejahteraan agama.
3)   Tidak kalah dengan guru-guru umum lainnya dalam membentuk Negara yang demokratis.
4)   Harus memiliki perasaan panggilan murni.
Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pendidik adalah :
1)   Integritas peribadi, peribadi yang segala aspeknya berkembang secara harmonis.
2)   Integritas sosial, yaitu peribadi yang merupakan satuan dengan masyarakat.
3)   Integritas susila, yaitu peribadi yang telah menyatukan diri dengan norma-norma susila yang dipilihnya.
Adapun menurut Prof. Dr. Moh. Athiyah al-Abrasyi, seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat tertenru agar ia dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, seperti yang diungkapkan oleh beliau adalah[3] :
1)      Memiliki sifat Zuhud, dalam artian tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari ridha Allah.
2)      Seorang Guru harus jauh dari dosa besar.
3)      Ikhlas dalam pekerjaan.
4)      Bersifat pemaaf.
5)      Harus mencintai peserta didiknya.
  1. Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik
                              Secara umum tugas pendidik islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan  dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupanya sampai mencapai titik kemampuan yang optimal. Mengenai tugas pendidik, ahli-ahli pendidikan Islam juga ahli pendidikan Barat telah sepakat bahwa tugas pendidik ialah mendidik. Mendidik adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain.
Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang tugas seorang pendidik atau pendidik. Al-Qur’an telah mengisyaratkan peran para nabi dan pengikutnya dalam pendidikan dan fungsi fundamental mereka dalam pengkajian ilmu-ilmu Ilahi serta aplikasinya. Isyarat tersebut, salah satunya terdapat dalam firman-Nya berikut ini :
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ (٧٩)
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran : 79)
Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung mengisyaratkan bahwa tugas terpenting yang diemban oleh Rasulullah Saw. adalah mengajarkan al-kitab, hikmah dan penyucian diri sebagaimana difirmankan Allah berikut ini:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (١٢٩)
 “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”. QS. Al-Baqarah : 129
Pendidik, jika ingin berhasil dalam dalam kegiatannya mendidik anak, harus mematuhi 8 adab atau etika yang bisa dimaknai juga sebagai tugas kewajiban selaku pendidik yang telah diatur pedomannya berlandaskan nilai-nilai luhur Islam. Al-Ghazali  -sebagaimana dikutip Al-Abrasy- menjelaskan tugas dan kewajiban pendidik sebagai berikut :
Pertama, sayang kepada murid sebagaimana sayangnya kepada anaknya sendiri dan berusah memberi pelajaran yang dapat membebaskannya dari api neraka. Oleh karena itu, tugas pendidik adalah lebih mulia daripada tugas kedua orang tua. Pendidik adalah sebab bagi kebahagiaan dunia dan akhirat, sedang orang tua hanyalah sebab bagi kelahiran anak ke dalam dunia fana.
Kedua, mengikuti akhlak dan keteladanan Nabi Muhamad SAW. Oleh karena itu, seorang pendidik tidak boleh mengharapkan gaji, upah atau ucapan terima kasih. Ia mengajar harus dengan niat beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ketiga, membimbing murid secara penuh, baik dalam cara belajar maupun dalam menentukan urutan pelajaran. Ia harus memulai pelajaran dari yang mudah dan berangsur meningkat kepada yang sukar. Ia harus menjelaskan juga pada murid bahwa menuntut ilmu itu tidak boleh bercampur dengan niat lain kecuali karena Allah semata-mata.
Keempat, menasehati murid agar senantiasa berakhlak baik. Ia harus memualai nasehat itu dari hanya sekedar sindiran serta dengan penuh kasih sayang, tidak dengan cara dengan terang-terangan, apalagi dengan kasar dan mengejek, yang malah akan membuat murid menjadi kebal atau keras kepala sehingga nasehat itu akan menjadi seumpama air dalam dalam keranjang menetes ke dalam pasir.
Kelima, menghindarkan diri dari sikap merendahkan ilmu-ilmu lain di hadapan anak, misalnya pendidik bahasa mengatakan ilmu fikih tidak penting, pendidik fikih mengatakan  ilmu tafsir tidak perlu dan sebagainya.
Keenam, menjaga agar materi yang diajarkanya sesuai dengan tingkat kematangan dan daya tangkap muridnya. Ia tidak boleh memberikan pelajaran yang belum terjangkau oleh potensi inteljensi anak didiknya. Pelajaran yang tidak disesuaikan malah akan membuat anak benci, merasa terpaksa dan akhirnya malah meninggalkan pelajaran tersebut.
Ketujuh, memilihkan mata pelajaran yang sesuai untuk  anak-anak  yang kurang pandai atau bodoh. Ia tidak boleh menyebut-menyebut bahwa di belakang dari ilmu yang sedang diajarkanya masih banyak rahasia yang hanya ia sendiri mengetahuinya. Kadang-kadang pendidik, dengan sikap menyembunyikan semacam itu, ingin memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya sehingga orang banyak harus berpendidik kepadanya .
Kedelapan, mengamalkan ilmunya, serta perkataannya tidak boleh berlawanan dengan realitas zhahir perbuatannya. Sebab, jika demikian halnya maka murid-murid tidak akan hormat kepadanya.
Ada beberapa hal penting yang perlu ditampilkan ke permukaan dari teori Al-Ghazali mengenai pendidik tersebut. Di  antaranya adalah:
1.   Mengajar dengan kasih sayang
Al-Ghazali telah mengemukakan teorinya pada abad 9, sedang di Eropa di zaman reformasi Martin Luther pada abad 15 –jadi 6 abad kemudian– anak-anak masih didik dengan kasar dan bengis berdasrkan teori bahwa mereka, karena dosa asal, benar-benar berkodrat jahat. Juan Luis Vives (1492-1540) mulai mengemukakan bahwa dalam kegiatan pendidikan, anak harus mendapatkan perhatian. Tetapi pendidikan anak dengan kasih sayang baru dimulai di Eropa pada abad 18.
2.   Memperhatikan tingkat kemampuan anak.
Pelajaran harus dimulai dari materi-materi yang sesuai dengan tingkat kemampuan pemahaman anak. Oleh karena itu pelajaran harus dimuali dari yang konkrit dan mudah, lalu secara berangsur meningkat kepada yang abstrak dan sukar.
3.   Memberi nasehat dengan kiasan/ kasih sayang.
Dalam memberi nasehat kepada anak (murid) tidak boleh langsung atau secara belak-belakkan, tetapi harus dimulai dengan sindiran atau kiasan dan menyampaikanya secara sopan dan lembut. Nasehat yang blak-blakkan hanya diberikan pada saat-saat tertentu yang dipandang sangat diperlukan.
4.   Berakhlak mulia.
Pendidik akan ditiru dan diteladani oleh murid. Oleh karena, itu ia harus berakhlak mulia, berbudi tinggi  dan memiliki sikap toleransi (tasamuh) dalam menghadapi murid-muridnya.
5.   Bersikap sebagai motivator.
Setiap murid harus diusahakan berhasil memperoleh ilmu. Untuk itu pendidik harus bersikap motivator, merangsang murid agar mencintai ilmu dan dengan bersungguh-sungguh mempelajarinya. Kecintaan tersebut tidak boleh diarahkan kepada satu atau dua macam ilmu saja. Oleh karena itu ia tidak boleh mengatakan ilmu yang dimilikinya lebih penting dari pada ilmu yang dikuasai oleh pendidik yang lain.
6.   Memperhatikan perbedaan individual.
Anak-anak, termasuk yang kembar, berbeda antar yang satu dengan yang lainnya (individual differences). Pendidik harus memperhatikanya dan menyesuaikan pelajaran dengan kondisi anak agar benar-benar dapat diserap serta difahaminya dengan baik.
Al-Ghazali sudah mengemukakan apa yang kemudian pada abad 20 dikenal dengan individual differences yang olehnya diistilahkan dengan al-furuq al-fardiyyah (perbedaan individual). Berdasarkan teorinya itu, ia menganjurkan supaya pelajaran disesuaikan dengan kondisi individual masing-masing anak. Mungkin boleh jadi beliau lah orang pertama yang memasukan teori Ilmu Jiwa ke dalam Ilmu Pendidikan yang kemudian berkembang amat pesat di belakangnya terutama mengenai keharusan menyesuaikan pelajaran dengan pribadi anak didik, baik dilihat dari segi tingkatan umur, kematangan jiwa dan kemampuan memahami maupun tingkat intelejensi.
Menurut Roestiyah N.K. yang dikutip oleh Djamarah bahwa pendidik dalam mendidik anak didik bertugas untuk:
5)   Menyerahkan kebudayaan kepada anak didik berupa kepandaian, kecakapan dan pengalaman-pengalaman.
6)   Membentuk kepribadian anak didik yang harmonis, sesuai cita-cita dan dasar negara kita pancasila.
7)   Menyiapkan anak didik menjadi warga negara yang baik sesuai undang-undang pendidikan yang merupakan keputusan MPR No II Tahun 1983
8)   Sebagai perantara dalam belajar
9)   Pendidik sebagai pembimbing untuk membawa anak didik kedalam kearah kedewasaan, pendidik tidak maha kuasa, tidak dapat membentuk anak didik menurut sekehendaknya.
10) Pendidik sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat
11) Pendidik sebagai penegek disiplin.
12) Pendidik administrator dan manajer
13) Pendidik sebagai suatu profesi.
14) Pendidik sebagai perencana kurikulum.
15) Pendidik sebagai pemimpin.
16) Pendidik sebagai sponsor kegiatan anak-anak.
Dikutib dari Wens Tanlani, Djamarah menuliskan bahwa pendidik yang bertanggung jawab memiliki sifat;
1)      Menerima dan mematuhi norma, nilai kemanusiaan.
2)      Memikul tugas mendidik dengan baik, berani gembira (tugas bukan menjadi beban baginya).
3)      Sadar akan nilai–nilai yang berkaitan dengan perbuatannya serta akibat-akibat yang timbul (kata hati).
4)      Menghargai orang lain termasuk anak didik.
5)      Bijaksana dan hati-hati (tidat nakat tidak semberono, tidak singkat akal) Taqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Dan sedangkan tanggung jawab pendidik sebagai tenaga profesional antara lain;
1)      Tanggung jawab moral; Tenaga profesional berkewajiban menghayati dan mengamalkan pancasila dan mewariskan moral Pancasila kemahasiswa dan generasi muda
2)      Tanggung jawab dalam bidang pendidikan; Tenaga profesional bertanggung jawab mengelola proses pendidikan dalam pengajaran, bimbingan, dan lain sebaginya.
3)      Tanggung jawab kemasyarakatan; pendidik tidak boleh melepaskan diri dari kehidupan masyarakat
4)      Tanggung jawab di bidang keilmuan; pendidik bertanggung jawab memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama bidang keahlianya.
Dalam melengkapi keahlian sebagai seorang pendidik tentunya tidak terlepas juga dari keahlihan dia dalam memahami metode, yang selanjutnya untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Maka sangatlah penting untuk memahami hakekat metode dalam pendidikan.
Disamping itu menurut pemakalah adalah perlunya adanya lembaga yang selanjutnya akan mengevaluasi kompetensi seorang pendidik, baik secara mentalitas maupun kapabilitasnya. Disamping evaluasi perlu juga adanya lembaga yang konsen dibidang peningkatan mutu seorang pendidik, dalam hal ini mungkin diterjemahkan dalam bentuk program pelatihan, pengawasan, pembimbingan dan penjaminan. Kehadiran lembaga pengontrol mutu di lembaga-lembaga pendidikan sangat membantu dalam menciptakan profil pendidik yang ideal.
Dari pembahasan tersebut maka secara khusus tugas-tugas dari seorang pendidik adalah sebagai berikut :
1)      Membimbing peserta didik, dalam artian mencari pengenalan terhadap anak didik mengenai kebutuhan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya.
2)      Menciptakan situasi untuk pendidikan, yaitu ; suatu keadaan dimana tindakan-tindakan pendidik dapat berlangsung dengan baik dan hasil yang memuaskan.
3)      Seorang penddidik harus memiliki pengetahuan yang diperlukan, seperti pengetahuan keagamaan, dan lain sebagainya. Seperti yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali, bahwa tugas pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, menyempurnakan serta membaha hati manusia untuk Taqarrub kepada Allah SWT.
Sedangkan tanggung jawab dari seorang pendidik adalah :
1)      Bertanggung moral.
2)      Bertanggung jawab dalam bidang pedidikan.
3)      Tanggung jawab kemasyarakatan.
4)      Bertanggung jawab dalam bidang keilmuan.

B.     Hakekat Peserta Didik
a.            Pengertian Peserta Didik
Peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Didalam pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.
Dasar-dasar kebutuhan anak untuk memperoleh pendidikan, secara kodrati anak membutuhkan dari orang tuanya. Dasar-dasar kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak dalam kehidupannya, dalam hal ini keharusan untuk mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan, antara lain :
1.      Aspek Paedogogis. Dalam aspek ini para pendidik mendorang manusia sebagai animal educandum, makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataannya manusia dapat dikategorikan sebagai animal, artinya binatang yang dapat dididik, sedangkan binatang pada umumnya tidak dapat dididik, melainkan hanya dilatih secara dresser. Adapun manusia dengan potensi yang dimilikinya dapat dididik dan dikembangkan kearah yang diciptakan.
2.      Aspek Sosiologi dan Kultural.
      Menurut ahli sosiologi, pada perinsipnya manusia adalah moscrus, yaitu      makhlik yang berwatak dan berkemampuan dasar untuk hidup     bermasyarakat
3.      Aspek Tauhid.
      Aspek tauhid ini adalah aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia   adalah makhluk yang berketuhanan, menurut para ahli disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya tuhan) atau disebut juga           homoriligius (makhluk yang beragama).
b.         Tugas dan Kewajiban Peserta Didik       
Agar pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang diinginkan maka setiap peserta didik hendaknya, senantiasa menyadari tugas dan kewajibannya.. Menurut Asma Hasan Fahmi tugas dan kewajiban yang harus dipenuhi peserta didik diantaranya adalah[4].
1.   Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu.
2.   Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keimanan.
3.   Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
4.   Peserta didik hendaknya belajar secara bersungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.
Dan adapun kewajiban peserta didik diantaranya adalah:
1.   Sebelum belajar hendaknya terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat buruk.
2.   Niat belajar hendaknya ditujukan untuk mengisi jiwa dengan berbagai fadillah.
3.   Wajib bersungguh – sungguh dalam belajar, wajib saling mengasihi dan menyayangi diantara sesama, bergaul baik terhadap guru-gurunya.
c.          Sifat-sifat Ideal Peserta Didik
Dalam upaya mencapai tujuan Pendidikan Islam, peserta didik hendaknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam dari dan kepribadiannya. Diantara sifat-sifat ideal ynag perlu dimiliki peserta didik misalnya ; berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar, dan tabah, tidak mudah putus asa dan sebagainya.
Berkenaan dengan sifat ideal diatas, Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Fatahiyah Hasan Sulaiman, merumuskan sifat-sifat ideal yang patut dimiliki peserta didik yaitu[5] ;
1.   Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah. Mempunyai ahklak yang baik dan meninggalkan yang buruk.
2.   Mengurangi kecendrungan pada kehidupan duniawi disbanding ukhrawi dan sebaliknya.
3.   Bersifat tawadhu’ (rendah hati).
4.   Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan dan aliran.
5.   Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji baik ilmu umum dan agama.
6.   Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan melalui pelajaran yang mudah menuju pelajran yang sulit.
7.   Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih kepada ilmu yang lainnya.
8.   Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari
9.   Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat, membahagiakan, serta memeberi keselematan dunia dan akhirat.
BAB II
Kesimpulan
Pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus pendidikan dalam persepektif pendidikan islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau kita melihat secara fungsional kata pendidik dapat di artikan sebagai pemberi atau penyalur pengetahuan, keterampilan.
Seorang pendidik mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya sebagai seorang pendidik. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali bahwa” tugas pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, menyempurnakan serta membawa hati manusia untuk Taqarrub kepada Allah SWT.
Sedangkan peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, dimana mereka sangat memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.
















[1] W.J.S. Poerwadarminta, kamus umum bahasa Indonesia, jakarta: Balai pustaka, 1991 hal 12
[2] Samsul Nizar, filsafat pendidikan Islam, (jakarta pres, 20020, 41
[3] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,(jakarta: Gaya Media Utama,2005) hal 123
[4] Al- Rasyidan dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pres.2005),hal...50-51

[5] Ibid hal...52-53

Selasa, 08 Januari 2013

PERSIS



 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada zaman penjajahan telah berdiri organisasi-organisasi Islam sebagai bentuk kesadaran masyarakat terutama umat Islam untuk selalu menegakkan agama Islam dan menentang tindakan-tindakan penjajah yang selalu menindas masyarakat Indonesia. Langkah-langkah yang ditempuh diantaranya adalah peningkatan kekuatan dalam bidang politik, budaya, ekonomi maupun dalam hal pendidikan.
Diantara organisasi-organisasi Islam tersebut terdapat sebuah organisasi yang kita kenal sebagai organisasi Persatuan Islam (Persis). Organisasi ini selain berupaya untuk menumbuhkan rasa nasionalisme pada masyarakat juga berupaya untuk menanamkan kesadaran pada masyarakat akan pentingnya pendidikan terutama pendidikan agama. Upaya tersebut dilakukan untuk meminimalisir keterbelakangan rakyat Indonesia dan memberikan modal keagamaan bagi mereka untuk menghadapi perlawanan-perlawanan yang datang dari luar.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah sejarah berdirinya Persatuan Islam (Persis)
2.      Apa sajakah bentuk usaha pendidikan yang dilakukan oleh Persatuan Islam (Persis)
C.    Tujuan Pembahasan
1.      untuk mengetahui sejarah berdirinya Persatuan Islam (Persis)
2.      untuk mengetahui bentuk usaha pendidikan yang dilakukan oleh Persatuan Islam (Persis)


BAB II

 
PEMBAHASAN


A.    Sejarah berdirinya Persatuan Islam (Persis)
Persatuan Islam didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923. Persatuan Islam ini berdiri ketika di daerah-daerah lain itu telah mengadakan pembaharuan didalam agama dan di Bandung ini terlihat agak lambat didalam mulai pembaharuan dibandingkan dengan daerah-daerah lain.  Pada tahun 1913 telah didirikan Sarikat Islam yang berkembang dengan pesat. Menyadari hal itu beberapa tokoh memiliki keinginan untuk mendirikan sebuah organisasi Islam. Ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang disebut kenduri yang diadakan di rumah salah seorang anggota yang berasal dari Sumatra namun sudah menetap di Bandung sejak lama. Mereka adalah keturunan dari tiga keluarga yang pindah dari Palembang. Hubungan mereka sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya karena diantara putra-putri mereka diikat dengan tali perkawinan. Dengan adanya hubungan yang erat itu mereka bisa mengadakan studi agama Islam secara bersama-sama. Karena mereka sudah lama tinggal di Bandung, mereka tidak merasa menjadi orang Sumatra namun mereka merasa menjadi sebagai orang Sunda.

         Persis didirikan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman Islam yang sesuai dengan       aslinya yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan memberikan pandangan berbeda dari pemahaman Islam tradisional yang dianggap sudah tidak orisinil karena bercampur dengan budaya local, sikap taklid buta, sikap tidak kritis, dan tidak mau menggali Islam lebih dalam dengan membuka Kitab-kitab Hadits yang shahih. Oleh karena itu, lewat para ulamanya seperti Ahmad Hassan yang juga dikenal dengan Hassan Bandung atau Hassan Bangil, Persis mengenalkan Islam yang hanya bersumber dari al-Qur’an dan Hadits (sabda Nabi). Organisasi persatuan Islam telah tersebar di banyak provinsi antara lain Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, Lampung, Bengkulu, Riau, Jambi, Gorontalo dan masih banyak provinsi lain yang sedang dalam proses perintisan. Persis bukan organisasi keagamaan yang berorientasi politik namun lebih focus terhadap Pendirian Islam dan Dakwah dan berusaha menegakkan ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat, syirik, bid’ah yang telah banyak menyebar dikalangan awwam orang Islam.[1]
Di dalam acara kenduri itu banyak sekali orang-orang yang hadir disana baik dari kalangan famili maupun diluarnya. Pada umumnya para undangan yang hadir sangat tertarik dengan masakan dari Palembang. Pada kesempatan ini H. Zam-Zam dan Muh. Yunus banyak mengemukakan ide-ide buah pikiran mereka karena mereka merupakan orang yang memiliki pengetahuan yang luas.
H. Zam-Zam dan Muh. Yunus adalah pedagang tetapi mereka masih mempunyai kesempatan dan waktu untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Islam. Zam-Zam (1894-1952) menghabiskan waktunya selama 3,5 tahun di Makkah waktu masih muda dimana ia belajar di Dar al-Ulum. Muh. Yunus yang memperoleh pendidikan agama secara tradisional dan yang menguasai bahasa Arab tidak pernah mengajar. Ia hanya berdagang tetapi tidak pernah pula minatnya hilang dalam mempelajari agama. Kekayaannya menyanggupkan ia untuk membeli kitab-kitab yang ia perlukan, juga untuk anggota-anggota persis setelah organisasi ini didirikan.[2]
H. Zam-Zam dan Muh. Yunus merupakan tokoh yang sangat berperan dalam pendirian organisasi Islam ini. Dalam setiap acara kenduri mereka selalu memberikan ide-ide baru dan menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat yang hadir didalamnya. Hal-hal yang dibicarakan dalam kenduri itu bermacam-macam diantaranya adalah masalah agama yang dibicarakan dalam berbagai majalah seperti majalah al-Munir di Padang dan majalah al-Manar di Mesir. Selain itu didalam kenduri itu juga dibicarakan mengenai pertikaian antara organisasi-organisasi Islam sebelumnya yaitu antara al-Irsyad dan Jami’at Khoir. Hal-hal yang dibicarakan dalam kenduri itu juga disampaikan oleh salah seorang tokoh Islam yaitu Faqih Hasyim dari Surabaya.
Persatuan Islam (Persis) ini tidak terlalu memberikan tekanan pada kegiatan organisasinya. Sehingga tidak begitu berminat untuk membentuk cabang-cabang di daerah-daerah lain sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam lain. Selain itu organisasi ini tidak menambah anggota sebanyak-banyaknya. Jadi adanya cabang-cabang yang didirikan di berbagai daerah itu merupakan inisiatif masyarakat peminat organisasi itu sendiri, dan tidak berdasarkan pada keinginan pemimpin pusat untuk mendirikannya. Cabang-cabang itu diantaranya bertebaran di Bogor, Jakarta, Leles, Banjaran, Surabaya, Malang, Bangil, Padang, Sibolga, Kotaraja, Banjarmasin, dan Gorontalo.
Namun demikian pengaruh organisasi Persis ini sangatlah besar terhadap masyarakat Islam, bahkan melebihi jumlah cabang yang ada di berbagai daerah hal ini terbukti dengan bertambahnya anggota berjamaah sholat hari Jum’at yang mana pada tahun 1923 hanya terdiri dari sekitar 12 orang tetapi pada tahun 1942 jumlah jamaah mencapai 500 orang yang tersebar dalam 6 buah masjid.
Penyebaran pemikiran Persis ini dilakukan dengan berbagai macam cara diantaranya adalah dengan adanya pertemuan umum, tabligh akbar, khutbah-khutbah, kelompok-kelompok studi, dan juga dengan berbagai macam media yang dapat diperluas dan dibaca oleh masyarakat luas. Media tersebut diantaranya adalah majalah-majalah, kitab-kitab, pamflet-pamflet. Dengan begitu pemikiran-pemikiran mereka akan lebih cepat tersebar luas. Selain itu penerbitan majalah-majalah, kitab-kitab dan pamflet-pamflet tersebut dapat digunakan referensi guru dan propagandis oleh para anggota organisasi-organisasi lain seperti halnya Muhamadiyah dan al-Irsyad.
Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa ide-ide dan pemikiran-pemikiran organisasi ini mudah diterima oleh masyarakat bahkan dapat dijadikan perbandingan oleh organisasi-organisasi lain. Sehingga tanpa penekanan terhadap kegiatan organisasi ini masyarakat mudah tertarik dengan pemikiran-pemikirannya.
Dalam kegiatannya Persis beruntung memperoleh dukungan dan partisipasi dari dua tokoh yang sangat penting, yaitu Ahmad Hassan yang dianggap sebagai guru Persis yang utama pada masa sebelum perang dan Muh. Nasir yang pada waktu itu merupakan seorang anak muda yang sedang berkembang dan yang tampakknya bertindak sebagai juru bicara dari organisasi tersebut dalam kalangan kaum terpelajar.
Ahmad Hassan yang lahir di Singapura tahun 1887 adalah seorang yang berasal dari keluarga campuran yaitu Indonesia dan India. Ayah Ahmad yang bernama Sinna Vapu Maricar adalah seorang penulis dan ahli agama Islam dan kesusastraan Tamil. Ia pernah menjadi redaktur dari Nur al-Islam sebuah majalah agama dan sastra Tamil, menulis beberapa buah kitab dalam bahasa Tamil dan juga terjemahan dari bahasa Arab.
Tokoh penting lainnya dalam pengemban Persis adalah Muhammad Nasir yang lahir pada tanggal 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Sumatra Barat. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah. Pada tahun 1927 ia pergi ke Bandung untuk melanjutkan studi pada Algeme Middlebare School (AMS, setingkat SMA sekarang). Pendidikan yang ditempuh sebelumnya adalah HIS dan (tingkat dasar dan menengah pertama) di Minangkabau. Selain itu ia pernah belajar pada sekolah agama di Solok yang dipimpin oleh Tuanku Mudo Amin, dan aktif mengikuti pelajaran agama yang dibrikan oleh H. Abdullah Ahmad di Padang.[3]
Muhammad Nasir tertarik dengan organisasi Persis ini diawali pada waktu ia mengikuti sholat Jum’at yang diadakan oleh organisasi Persis. Sehingga dia memiliki hubungan yang sangat erat dengan para tokoh-tokoh Persatuan Islam ini. Ia mengikuti berbagai macam kegiatan keagamaan dan pendidikan yang diadakan oleh organisasi tersebut. Akhirnya ia memiliki tambahan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk memecahkan problema-problema hidup yang mulai tumbuh dalam pemikirannya.
Ketika ia bergabung dengan Persis ia memiliki kesempatan untuk mengeluarkan ide-ide dan pemikirannya lewat sebuah majalah yang bernama Pembela Islam. Minatnya untuk mempelajari dan mengembangkan pendidikan Islam sangatlah besar, sampai-sampai ia mau menolak beasiswa yang ditawarkan oleh belanda untuk melanjutkan studinya ke sekolah tinggi hukum di Jakarta atau sekolah tinggi ekonomi di Belanda. Ia lebih memikirkan ilmu pendidikan bagi orang-orang Islam.
Itulah sekilas tentang sejarah berdirinya organisasi Persatuan Islam (Persis). Selanjutnya kita akan membahas tentang usaha-usaha pendidikan yang dilakukan oleh organisasi ini.

B.     Usaha-usaha pendidikan Persatuan Islam (Persis)
Organisasi ini tidak kalah dengan organisasi-organisasi lain yang selalu memperhatikan pendidikan. Persis melaksanakan berbagai macam kegiatan pendidikan seperti halnya tabligh dan publikasi. Kegiatan tersebut ditujukan untuk melatih generasi muda Islam untuk selalu giat dalam mengembangkan ajaran Islam melalui kegiatan pendidikan tersebut.
Dalam bidang pendidikan Persis mendirikan sebuah madrasah yang mulanya dimaksudkan untuk anak-anak dari anggota Persis. Tetapi kemudian madrasah ini diluaskan untuk dapat menerima anak-anak lain. Kursus-kursus dalam masalah agama untuk orang-orang dewasa mulanya juga dibatasi pada anggota-anggotanya. Hassan dan Zam-Zam mengajar pada kursus-kursus ini yang terutama membahas soal-soal iman serta ibadah dengan menolak segala kegiatan bid’ah. Masalah-masalah yang sangat menarik masyarakat pada waktu itu seperti poligami dan nasionalisme juga dibicarakan.[4]
Kursus-kursus tersebut disediakan untuk anak-anak muda yang telah menempuh sekolah menengah pemerintah dan memiliki minat untuk mendalami agama Islam dengan maksimal. Jadi Kursus-kursus keagamaan tersebut tidak dikhususkan bagi para anggota Persatuan Islam, tetapi juga untuk semua masyarakat yang ingin mendalami agama Islam. Didalam Kursus-kursus tersebut terdapat guru-guru yang professional. Diantaranya adalah Hassan. Didalam mengajar, Hassan memperoleh banyak manfaat terutama dalam hal pendalaman pengetahuan agama Islam dan penggalian terhadap sumber-sumber ajaran Islam.
Sebuah kegiatan lain yang penting dalam rangka kegiatan pendidikan Persis ini adalah lembaga pendidikan Islam sebuah proyek yang dilancarkan oleh  Nasir, dan terdiri dari beberapa sekolah yaitu: taman kanak-kanak, HIS (keduanya tahun 1930), sekolah Mulo (1931) dan sebuah sekolah guru (1932).[5]
HIS merupakan lembaga untuk memperoleh pendidikan barat khususnya memperlajari bahasa Belanda sebagai kunci untuk pendidikan lanjutan, pintu kebudayaan barat, dan syarat untuk memperoleh pekerjaan. Bahasa Belanda memberikan prestise dan memasukkan seseorang kedalam golongan intelektual dan elit.[6]
Kursus Mulo dimaksud sebagai sekolah rendah dengan program yang diperluas dan bukan sebagai sekolah menengah. Sebagai guru diangkat mereka yang memiliki ijazah HA (Hoofdacte, kepala sekolah) atau diploma untuk pelajaran tertentu.[7]
Keinginan Nasir untuk mendirikan berbagai sekolah ini  dipicu oleh berbagai macam tuntutan dari berbagai pihak. Selain itu timbulnya keinginan Nasir untuk mendirikan berbagai lembaga pendidikan adalah karena ia melihat ada beberapa sekolah di Bandung yang tidak memberikan pelajaran agama pada siswanya. Adapun murid-murid yang masuk kedalam lembaga pendidikan yang didirikan oleh organisasi Persis ini pada umumnya adalah anak-anak disekitarnya, tetapi beberapa diantara mereka ada yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan dari Sumatra. Bagi para siswa yang telah lulus studinya mereka diperbolehkan untuk kembali ke tempat asal mereka masing-masing untuk membuka sekolah baru atau bergabung dengan sekolah yang ada di daerahnya.
Disamping pendidikan Islam, Persis mendirikan sebuah pesantren (disebut pesantren Persis) di Bandung pada bulan Maret 1936 untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan untuk menyebarkan agama. Pesantren ini dipindahkan ke Bangil Jawa Timur ketika Hassan pindah kesana dengan membawa 25 dari 40 siswa dari Bandung.[8]
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk diterima di sekolah ini meliputi: umur 18 tahun, kesehatan yang baik, kemampuan untuk membaca dan menulis Arab dan latin, pengetahuan membaca al-Qur’an, bersumpah bahwa kalau akan menjadi guru mereka akan menjadi guru atau propagandis “Persatuan Islam”, dan akan berikhtiar mendirikan cabang-cabang Persatuan Islam. Mereka juga harus menjaga disiplin yang ketat dan wajib mengerjakan perintah agama, menjauhkan segala larangan, menjauhi kegiatan merokok di dalam pesantren, bersih badan dan pakaian, menjaga kesopanan dan adab-adab Islam, menjaga kesopanan adat yang tidak dilarang oleh agama serta selalu menjaga syari’at Islam.
Organisasi Persis ini sangat gemar dengan perdebatan-perdebatan hal ini berlainan dengan Muhamadiyah, yang mana dalam penyebaran pemikiran-pemikirannya dilakukan secara damai. Didalam Persis para anggotanya selalu siap untuk menantang orang-orang yang tidak menyetujui pemikiran mereka. Hal ini tentunya menunjukkan berbagai dalih yang kuat yang mereka ajukan kepada lawan debat.
Salah satu bentuk tantangan dari Persis adalah berbagai ungkapan yang dicerminkan dalam publikasinya melalui majalah Pembela Islam. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan ajaran-ajaran Islam yang dikecam oleh berbagai pihak. Selain itu terdapat tujuan lain yaitu untuk meyebarkan pemikiran-pemikiran Persis. Hasil publikasi itu tentunya dibaca oleh masyarakat luas bahkan anggota-anggota organisai lain baik di jawa maupun luar jawa. Hassan juga mendirikan sebuah percetakan untuk majalah yang berbahasa Indonesia dengan tulisan jawa. Majalah-majalah yang diterbitkan membicarakan masalah-masalah agama tanpa adanya pertentangan dari pihak-pihak non-Islam. Nama-nama majalah itu antara lain al-Fatwa, al-Taqwa, al-Lisan dan majalah Sual jawab.
Itulah diantara beberapa usaha pendidikan yang dilakukan oleh organisasi Persatuan Islam. Tentunya masih banyak lagi keterangan tentang usaha pendidikan Islam oleh organisasi ini yang dimuat didalam buku-buku tentang sejarah pendidikan Islam.

BAB III

 
PENUTUP

Kesimpulan
1.     Persatuan Islam (Persis) merupakan sebuah organisasi Islam yang beridiri pada tahun 1923 di Bandung. Organisasi ini berasal dari sebuah acara yang sangat sederhana yaitu kenduri. Didalam kenduri itu para anggotanya berbincang-bincang mengenai maslah keagamaan dan kegiatan keagamaan baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Tokoh-tokohnya diantaranya adalah H. Zam-Zam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan dan Muhammad Nasir
2.     Usaha-usaha pendidikan yang dilakukan oleh Persis adalah:
a.      pendirian madrasah
b.      pendirian kursus-kursus keagamaan
c.      pendirian lembaga-lembaga pendidikan Islam
d.      pendirian pesantren Persis
e.      pendirian percetakan 


DAFTAR RUJUKAN
Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2001
Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia (1900-1942), Jakarta: LP3ES, 1982
Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2006


[1] http://id.wikipedia.org/wiki
[2] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia (1900-1942), (Jakarta: LP3ES, 1982). 96
[3] Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006). 189
[4] Ibid., 190
[5] Noer, Gerakan Moderen,……. 101
[6] Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), 115
[7] Ibid., 122
[8] Zuhairi, Sejarah,…….. 191