Senin, 28 Mei 2012

KEPRIBADIAN MUSLIM DAN CIRI CIRINYA


BAB1
PENDAHULUAN
  1. Latara Belakang
               Kepribadian adalah sesuatu yang pasti terdapat dalam diri setiap manusia, baik manusia itu beragama maupun tidak. Secara umum kepribadian terdapat dalam diri setiap individu yang normal. Sedangkan orang yang tidak normal kepribadiannya tidak tertentu dan tidak dapat diamati secara pasti, walaupun pada dasarnya setiap kepribadian itu dapat diamati melalui gejala-gejala yang tampak.
Pada ilmu psikologi kepribadian dibahas dalam kajian ilmu yang termasuk bagian dari psikologi secara tersendiri. Maka hal itu memunculkan ilmu baru yaitu psikologi kepribadian. Kemudian dalam psikologi pendidikan Islam juga dibahas kepribadian orang Islam atau dapat dikatakan kepribadian orang menurut pandangan atau sudut pandang agama Islam Ketika anak didik masuk sekolah dasar, dalam jiwa anak tersebut telah membawa bekal rasa agama yang terdapat dalam kepribadiannya, dari orang tuanya dan dari gurunya, semasa di taman kanak-kanak. Andai kata didikan agama yang diterima dari orang tua di rumah sejalan dan serasi apa yang diterima dari gurunya di taman kanak-kanak maka ia masuk sekolah dasar telah membawa dasar agama yang kuat dan bulat (serasi) akan tetapi, jika berlainan maka yang dibawanya adalah keragu-raguan, karena ia belum dapat memikirkan mana yang benar.
Di dalam lembaga pendidikan yang menjadi pusat adalah guru, karena anak didik akan menyerap apa yang ia lihat dan ia dengar, serta perilaku gurunya. Apalagi anak didik belum mampu berfikir dan masih abstrak, disamping itu juga kemampuannya sangatlah terbatas. Seperti halnya guru yang jauh dari agama, ia biasanya berbicara tidak sopan suka menghardik, tingkah lakunya yang tidak sesuai dengan apa yang harus ia ajarkan kepada anak didiknya. Guru yang demikian akan membuat menjadi rusak akhlaknya.
Adapun dalam hal ini, guru berperan sebagai pendidik maupun sebagai pembina dan pembentuk perilaku keagamaan anak didik yang dapat terwujud dalam bentuk kegiatan seperti halnya latihan-latihan keagamaan yang menyangkut akhlak siswa yakni yang berhubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya. Pada usia sekolah dasar, anak-anak sedang mengalami pertumbuhan kecerdasan yang sangat cepat, daya khayal dan fantasi yang sangat tinggi, perasaan khayal yang sedang subur dan kemampuan untuk berpikir logis sedang dalam pertumbuhan yang sangat subur. Oleh karena itu, di dalam lembaga pendidikan guru merupakan orang tua siswa.
Sehingga guru harus mengetahui pembentukan kepribadian yang benar menurut al-Qur’an dan sesuai dengan ajaran Islam. Maka dari itu, penulis berusaha mengumpulkan teori dari Islam tentang kepribadian, yang penulis sinkronkan dengan teori dari Barat, untuk mengintegrasikan antara kedua teori tersebut. Untuk itu penulis akan menyusun sebuah tulisan yang berjudul "Kepribadian Muslim dan Ciri-Cirinya" yang penulis kumpulkan dari berbagai referensi yang ada.

  1. Rumusan Masalah
a.       Bagaimana pengertian kepribadian?
b.      Bagamaimana pendekatan dalam psikologi kepribadian?
c.       Bagaiamana struktur kepribadian muslim?
d.      Bagaimana integrasi kepribadian muslim?
  1. Tujuan Pembahasan
a.       untuk mengetahui pengertian kepribadian?
b.      Untuk mengetahui pendekatan dalam psikologi kepribadian?
c.       Untuk mengetahui struktur kepribadian muslim?
d.      Untuk mengetahui integrasi kepribadian muslim
e.       Untuk mengetahui ciri kepribadian muslim?


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Kepribadian Muslim
Kata kepribadian dalam kamus bahasa Indonesia bermakna sifat hakiki yang tercermin dalam sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakan dirnya dari orang lain atau bangsa laian[1]. Dalam bahasa inggris disebut personality yang diterjmahkan dalam bahasa Indonesia menjadi kepribadaian.
Dari segi etimologi, kepribadian terjemahan dari kata personality (bahasa Inggris) yang berasal dari bahasa Yunani kuno prosopon atau persona, yang artinya ‘topeng’ yang biasa dipakai artis dalam teater.[2] yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain yang sering dipakai oleh pemain-pemain yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak atau pribadi seseorang. Hal ini oleh karena terdapat ciri-ciri yang khas yang hanya dimiliki oleh seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik, maupun yang kurang baik.
Dalam kamus psikologi yang ditulis oleh james P.chaplin ia menyebutkan beberapa pengertian kepribadian dari tokoh kejiwaan diantaranya[3]:
G. Alport mengartikan kepribadian sebagai organisasi dinamis dalam individu yang terdiri dari system psikofisik yang menentukan tinggah laku dan pikiran secara karekteristik.
R.B. cattel mengartikan kepribadian sebagai segala sesuatu yang memungkinkan satu peranan dari apa yang akan dilakukan seseorang dalam situasi tertentu.
Murray mengartikan kepribadian sebagai kesinambungan bentuk bentuk dan kekuatan kekuatan yang di nyatakan …….dari proses yang berkuasa dan teroganisir serta tingkah laku lahiriah dari lahir sampai mati.
Edler mengartikan kepribadian adalah gaya hidup individu, atau cara yang karekteristik  mereaksinya seseorang terhadap masalah hidup dan termasuk tujuan tujan hidup.
Jung mengartikan kepribadian dalah integrasi dari ego ketidak sadaran pribadi, ketidaksadaran kolektif, kelompok, akvitf akvitif…… 
Freud mengartikan kepribadian adalah integrasi dari ide, ego dan super ego.     
Jadi pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa kepribadian merupakan pernyataan atau istilah yang digunakan menyebut tingkah laku seseorang yang terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya dari sudut filsafat dikemukakan pendapat, yang dikutip oleh Jalaluddin. Menurut William Stern kepribadian adalah suatu kesatuan yang banyak (Unita Multi Complex) yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu dan mengandung sifat-sifat khusus individu, yang bebas menentukan dirinya sendiri. Sedangkan Prof Kohnstamm, menentang William Stern yang meniadakan kesadaran pada pribadi terutama kepada Tuhan. Menurut Kohnstamm; Tuhan merupakan pribadi yang menguasai alam semesta. Dengan kata lain kepribadian sama artinya dengan teistis (keyakinan). Orang yang berkepribadian menurutnya ialah orang yang berkeyakinan ketuhanan.[4] Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam pandangan filsafat kepribadian diidentikkan dengan kepercayaan terhadap Tuhan dan keagamaannya.
Jadi yang dinamakan kepribadian muslim adalah susunan dan kesatuan unsur-unsur akal dan jiwa seorang muslim yang menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap orang muslim tersebut.                                                                                        
  1. Pendekatan dalam psikologi kepribadian
a)      Pendekatan tipologis
Pola kerja pendekatan tipologis adalah berdasarkan sejumlah kecil kategori yang dapat memedakan ciri ciri khas individu yang satu dengan yang lain dengan melakukan pengolongan (deskripsi) individu menjadi beberapa tipe. Adapun tipe itu antara lain keadaan jasmani, system nilai, tempramen dan system system lain.
b)      Pendekatan pensifatan
Pola kerja pendekatan pensifatan ini adalah berdasarkan pada anggapan bahwa variabel yang dapat dipakai untuk menunjukkan ciri ciri khas seseorang itu sangat banyak, sehingga orang berusaha membuat deskripsi selengkap mungkin mengenai seseorang, namun dalam prakteknya fariabel itu tidak terbatas jumplahnya.
c)      Pendekatan factorial
Pola kerja pendekatan factorial ini adalah pertama dibuat hipotesis bahwa ada sejumlah faktor yang mendasari tingkah laku individu yang banyak macamnya
  1. Struktur kepribadian muslim
Sigmund Feud merumuskan sistem kepribadian menjadi tiga sistem. Ketiga sistem itu dinamainya id, ego dan super ego. Dalam diri orang yang memiliki jiwa yang sehat ketiga sistem itu bekerja dalam suatu susunan yang harmonis. Segala bentuk tujuan dan gerak geriknya selalu memenuhi keperluan dan keinginan manusia yang pokok. Sebaliknya kalau ketiga sistem itu bekerja secara bertentangan satu sama lainnya, maka orang tersebut dinamainya sebagai orang yang tak dapat menyesuaikan diri.
1.      Das es (the Id), sebagai suatu sistem id mempunyai fungsi menunaikan prinsip kehidupan asli manusia berupa penyaluran dorongan naluriah.
2.      Das Ich (the ego), merupakan sistem yang berfungsi menyalurkan dorongan id ke keadaan yang nyata.
3.      Das veber ich (the super ego), sebagai suatu sistem yang memiliki unsur moral dan keadilan, maka sebagian besar super ego mewakili alam ideal. Tujuan super ego adalah membawa individu ke arah kesempurnaan sesuai dengan pertimbangan keadilan dan moral.[5]
Dari ketiga aspek tersebut di atas, masing-masing mempunyai fungsi, sifat komponen, prinsip kerja, sifat dinamika dari sendiri, namun ketiga-tiganya saling berhubungan sehingga tidak mungkin dipisahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia.
Menurut pendapat Sukamto, sebagaimana yang dikutip Jalaluddin,  kepribadian terdiri dari empat sistem[6] yaitu:
1.      Qalb. Qalb adalah hati, yang menurut bahasa berarti sesuatu yang berbolak-balik. Sedangkan menurut istilah ialah segumpal daging yang ada dalam tubuh yang digunakan untuk merasakan yang sifatnya bisa berubah-ubah. Hal tersebut sesuai sabda Nabi; yang artinya: ketahuilah bahwa didalam tubuh manusia terdapat segumpal daging(sekepal daging), jika itu baik maka  baiklah seluruh tubuh. Kalau itu rusak maka rusaklah seluruh tubuh, itulah qalb.[7]
2.      Fuad, adalah perasaan terdalam dari hati yang sering kita sebut hati nurani (cahaya mata hati), dan berfungsi sebagai penyimpan daya ingatan. Ia sangat sensitif terhadap gerak atau dorongan hati, dan merasakan akibatnya. Kalau hati kufur, fuad pun kufur dan menderita. Dalam al-Qur’an fuad disebutkan sebagai berikut:
a.       Fuad bisa bergoncang gelisah.  Allah berfirman yang artinya:  Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa[8]. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak kami teguhkan hati- nya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).
b.      Dengan diwahyukannya Al Qur’an kepada nabi, fuad nabi menjadi teguh. Allah berfirman yang artinya: Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah[9] supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).
c.       Fuad tidak bisa berdusta. Allah berfirman yang artinya: Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.[10]
d.      Orang zalim fuadnya kosong. Allah berfirman yang artinya: Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mangangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong.[11]
Orang musryk fuad dan pandangannya dibolak-balikkan. Allah berfirman yang artinya: Dan (begitu pula) kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.[12]
3.      Ego, aspek ini timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan. Ego adalah derivat dari qalb dan bukan untuk merintanginya. Kalau qalb hanya mengenal dunia sesuatu yang subyektif dan yang obeyektif. Didalam fungsinya ego berpegang pada prinsip kenyataan.
4.      Tingkah laku. Nafsiologi kepribadian berangkat dari kerangka acuan dan asumsi-asumsi subyektif tentang tingkah laku manusia, karena menyadari bahwa tidak seorangpun bisa bersikap obyektif sepenuhnya dalam mempelajari manusia. Tingkah laku ditentukan oleh pengalaman yang disadari oleh pribadi. Masalah normal dan abnormal tentang tingkah laku, dalam nafsiologi ditentukan oleh nilai dan norma yang sifatnya universal. Orang yang disebut normal adalah orang yang seoptimal mungkin melaksanakan iman dan amal saleh di segala tempat. Kebalikan dari ketentuan itu adalah abnormal.
  1. Integrasi kepribadian muslim
Kepribadian yang terintegrasi adalah kepribadian yang sehat, yang membuat seseorang merasakan ketentraman dan kebahagian. Dimana kepribadian yang bisa mengkompromikan antara kebutuhan fisik dan kebutuhan sepiritual nya sangat mungkin dilakukan manusia itu konsisten dalam berperilaku sesuai petunjuk Allah, dan tidak berlebih lebihan dalam memenuhi satu dorongan saja[13].
Menurut Usman Najati, apibila keseimbangan antara fisik dan jiwa terealisasikan maka terealisasikan kepribadian manusia dalam  citranya yang hakiki dan sempurna, seperti tercemin pada kepribadian Rasulullah. Lebih lanjut Usman Najati mengatakan bahwa keseimbangan  antara tubuh dan man jiwa dalam kepribadian manusia adalah sebagaiaman keseimbangan yang terjadi pada alam semesta. Dengan demikian kepribadian yang terintegrasi dan serasi adalah kepribadian yang memperhatikan fisik, kesehatannya, kekuatannya dan memenuhi kebutuhan- kebutuhannya dalam batas batas yang diperkenankan agama, dan pada saat yang sama berpegang teguh pada Allah, melaksanakan berbagai ibadah, melakukan segala hal yang di ridhoi Allah, dan menghindari segala hal yang membuat Allah murka.
  1. Faktor faktor yang mempengaruhi kepribadian
Secara umum dapat dikemukakan bahwa faktor faktor yang mempengaruhi kepribadian itu dapat di perinci menjadi tiga golongan besar yaiti (b) faktor biologis, (b) faktor sosial, dan )(c) faktor kebudayaan.
a)      Faktor biologis atau keturunan.
      Fakta ilmiah yang ditemukan para ilmuan tentang bagamana fisik sifat- sifat keadaan dan keadaan yang diturunkan, secara gambling telah diturunkan dalam Al quran jauh sebelum para ilmuan melakukan penelitian. Dengan semakin canggih keilmuan manusia, semakin jelas bukti empiric dapat dimati dengan panca indra. Menurut Husain Mashari  hukum keturunan melakukan pemindahan sifat sifat batin, internal yang memimilik pembawaan moral sepiritual, yang selanjutnya berpengaruh bukan hanya terbatas pada pembentukan ciri cirri jasmaniyah lahiriah saja. Bagimanapun faktor faktor keturunan dalam membentuk kepribadian anak tidak dapat dipungkiri. Dalam Al Quran  Q.S. A-A’rAraf: 57 Allah berfirman:
      “Dan tanah yang baik, tanam tnaman nya yang subur dengan seizing Allah. Dan tanah yang tidak subur, tanam tanaman hanya akan tumbuh merana”.
      Kandungan ayat ini menurut Musain Mashari  mendekat kan hubungan rasional dari hukum turunan melalui contoh iderawi yang bergerak dan hidup. Tanah di kategorikan sebagai benda yang paling dekat dengan manusia, dapat dibagi dua macam yautu tanah subur dan tidak yang gersang dan tandus.
b)      Faktor sosial
            Faktor sosial yang dimaksud disini adalah masyarakat disekitar individu yang mempengaruhi individu tersebut. Yang termasuk dalam faktor sosial adalah tradidi, adat istiadat, dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat.
      Dalam perkembangan individu peranan keluaga sangat menentukan sangat menentukan, karena pada lingkungan keluarga sangat menentukan kepribadian anak selanjutnya. Hal ini disebabkan karena:
a.       Pengaruh itu merupakan pengalaman yang pertama tama.
b.      Pengaruh yang diterima anak itu masih terbatas jumlahnya dan luasnya.
c.       Intensitas pengaruh itu tinggi karena berlangsung terus menerus siang malam.
d.      Umumnya pengaruh itu diterima dalam suasana aman dan sifat intim dan bernada emosional.
Pada selanjutnya pengaruh lingkungan sosial diteriman anak semakin besar luas, mulai dari lingkungan keluarga meluas pada anggota keluarga yang lain, teman yang datang kerumahnya, fteman sepermainan dan sebagainya. Demikian pengaruh faktor sosial terhadap perkembangan kepribadian yang terima oleh individu dalam hidup dan kehidupannya sehari hari sejak kecil sampai dewasa. Dalam Al Quran Q.S al-Araaf 173-174 Allah berfirman:
Dan (inggatlah), ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak anak
adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfiman): “Bukan kah aku ini tuhanmu? “Mereka menjawab “ Betul (Tuhank kami), kami akan menjadi saksi”. ( kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kami tidak mengatakan: “ sesungguhnya kami bani adam adalah oaring orang yang lenggah terhadap in (keesaan tuhan)”, atau agar kami tidak mengatakan: “sesungguhnya orang orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedangkan kami adalah anak anak keturunan yang datang sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang orang yang sesat dahulu?”  
Ayat ini mengandung maksud: agar orang orang musrik itu jangan mengatakan bahwa bapak bapak mereka dahulu telah mempersekutukan Tuhan itu salah, tak ada lagi jalan bagi mereka, hanyalah meniru orang orang tua mereka yang mempersekutukan Tuhan itu. Karena itu mereka menganggap bahwa mereka tidak patut disiksa karena kesalahan mereka.
c)      Adat kebiasaan
Adat kebiasaan yang dimaksud disini adalah perbuatan yang disertai kemauan sendiri tanpa adanya dorongan dari pihak lain. Hal ini merupakan salah satu ciri kepribadian seseorang yang kadang-kadang tidak dimiliki oleh orang lain, hal ini ada yang bersifat baik dan bersifat buruk. Adat kebiasaan yang baik selalu tercermin dalam setiap perilaku seseorang, sebagai misal ialah seseorang, suka menolong orang lain dalam kerusuhan, saling mengadakan silaturahmi dalam hati raya idul fitri, dan suka menjenguk teman dalam keadaan sakit. Sedangkan adat kebiasaan yang buruk juga selalu nampak pada seseorang yakni ketika seseorang berbuat, misalnya orang yang selalu suka menghasut bila melihat teman yang kontra dengan teman lainnya karena hal ini sudah merupakan kebiasaan dirinya. Oleh karena itu, nampak perilaku seseorang yang memberikan corak tersendiri dalam kehidupannya khususnya umat Islam.
  1. Macam-macam kepibadian Muslim
   Setiap muslim harus mempunyai kepribadian yang Islami. Maka, pada diri setiap muslim tentulah harus ada macam-macam kepribadian yang menggambarkan keislaman. Kepribadian tersebut antara lain:
1.      Shalat (Ibadah)
Shalat merupakan tiang agama siapa yang menegakkan shalat beraerti menegakkan agama dan siapa yang merusak shalatnya berarti merobohkan agamanya. Peristiwa besar yaitu “isro’ mi’roj” Nabi Muhammad SAW, perintah shalat tidak melalui malaikat Jibril, melainkan langsung di sidratul muntaha.
Dari pernyataan di atas dapat diambil pengertian tentang shalat, yaitu: Berharap hati kepada Allah sebagai ibadah yang diwajibkan atas tiap-tiap orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Berupa perbuatan/perkataan dan berdasarkan atas syarat-syarat dan rukun tertentu yang dimulai dengan bacaan ”takbir” dan diakhiri dengan ”salam”.21
Sedangkan dasar-dasar yang menunjukkan adanya kewajiban shalat adalah:
a.       Surat al-Ankabut ayat 45
...أَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ...
”Kerjakanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar.”
b.      Surat Al-Baqarah ayat 43
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (43)
”Dan dirikanlah shalat dan keluarkanlah zakat, dan tunduklah / ruku’ bersama-sama orang yang ruku’”.
Setelah kita tahu secara eksplisit dari definisi shalat, maka hendaklah perintah shalat itu ditanamkan kedalam jiwa dan hati anak didik dengan menggunakan pendidikan yang cermat, serta dilakukan sejak anak-anak masih kecil.
2.      Akhlak Personal
Tandensi akhlak tersebut adalah:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15)
Artinya: Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[14]. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.(14) Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (15)(Q.S. Luqman/31:14-15)

Dalam akhlak personal ini, keluarga mempunyai kewajiban sebagai berikut:
a.       Memberi contoh kepada anak dalam berakhlak mulia. Sebab orang tua yang tidak berhasil menguasai dirinya tentulah tidak sanggup meyakinkan anak-anaknya untuk memegang akhlak yang diajarkannya. Maka sebagai orang tua harus terlebih dahulu mengajarkan pada dirinya sendiri tentang akhlak yang baik sehingga baru bisa memberikan contoh pada anak-anaknya.
b.      Menyediakan kesempatan kepada anak untuk mempraktikkan akhlak mulia. Dalam keadaan bagaimanapun, sebagai orang tua akan mudah ditiru oleh anak-anaknya, dan di sekolah pun guru sebagai wakil orang tua merupakan orang tua yang akrab bagi anak.[15]
c.       Memberi tanggung jawab sesuai dengan perkembangan anak. Pada awalnya orang tua harus memberikan pengertian dulu, setelah itu baru diberikan suatu kepercayaan pada diri anak itu sendiri.
d.      Mengawasi dan mengarahkan anak agar selektivitas dalam bergaul. Jadi orang tua tetap memberikan perhatian kepada anak-anak, dimana dan kapanpun orang tua selalu mengawasi dan mengarahkan, menjaga mereka dari teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat maksiat yang menimbulkan kerusakan.[16]

3.      Akhlak Sosial
Di samping akhlak personal, seorang muslim juga harus memiliki akhlak sosial. Sesuai dengan ayat 18 surah Luqman, ketika terjun di masyarakat, seorang muslim dilarang untuk bertingkah laku dengan sombong dan berjalan dengan angkuh seolah-olah hanya ia yang mempunyai ilmu pengetahuan. Dalam ayat tersebut terdapat larangan memalingkan muka, memalingkan muka ini mempunyai arti mencibirkan mulut ketika berbicara,[17] dengan maksud menghina. Larangan berakhlak tercela tersebut dapat diberlakukan secara umum dengan istilah yaitu takhalli, yaitu membersihkan diri dari sifat-sifat tercela.
Adapun sifat yang tercela yang harus dihilangkan tersebut adakalanya maksiat batin antara lain riya (memamerkan kelebihan), sama’ (cari nama atau kemasyhuran), bakhil (kikir), hubbul mal (cinta harta yang berlebihan), namimah (berbicara dibelakang orang) dan lain sebagainya. Dan juga yang merupakan maksiat lahir, ialah segala perbuatan yang dikerjakan oleh anggota badan manusia yang merusak orang lain atau diri sendiri, sehingga membawa pengorbanan benda, pikiran perasaan. Maksiat lahir, melahirkan kejahatan-kejahatan yang merusak dan mengacaukan masyarakat.
Karena anak dilarang untuk berakhlak tercela, maka anak diharuskan berakhlak mulia, dengan menghiasi dirinya dengan akhlak mulia atau tahalli. Jadi seorang anak harus berakhlak yang baik dimana setiap orang yang memandang menjadi senang kepadanya. Orang yang berakhlak baik itu adalah orang yang sempurna imannya. Hal itu sesuai dengan hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
Artinya: Paling sempurnanya orang mu’min imannya yaitu yang paling budi pekertinya, dan pilihanmu adalah pilihanmu kepada wanita mu’min yang budi pekertinya baik [18]
Orang yang berakhlak mulia tersebut dikatakan orang yang sempurna imannya, karena ia tidak pernah menyakiti orang lain, dan hal itu merupakan implikasi iman dalam kehidupan sehari-hari. Setelah itu, maka seorang muslim  diperintah untuk menyederhanakan cara berjalan dan bersuara dengan lunak. Hal tersebut jika dipahami dalam koridor akhlak merupakan perintah agar seseorang berakhlak mulia dan rendah diri dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu, seorang anak juga apabila terjun ke masyarakat harus mengikuti peraturan atau norma-norma kemasyarakatan yang berlaku dan tidak menyimpang dari ajaran Islam.[19]
Penerapan akhlak mulia atau mahmudah tersebut antara lain dengan cara menebarkan salam kepada sesama muslim dan bersedekah kepada orang yang tidak mampu. Hal ini sesuai dengan hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
Artinya: Dari Abdullah bin Amr, sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, Mana Islam yang paling bagus itu? Nabi bersabda: pemberianmu makanan dan pengucapanmu salam kepada orang yang kamu kenal dan orang yang tidak kamu kenal [20]
Dari hadits di atas, dapat dipahami bahwa orang yang paling mulia atau sempurna keislamannya adalah orang yang berakhlak mulia dan menghormati sesama muslim yaitu dengan mengucapkan salam baik kepada orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal.
Demikian garis besar pembagian kepribadian muslim yang mampu penulis ungkap. Sebenarnya masih banyak pembagian kepribadian yang lain menurut peneliti dan ahli lain.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Kepribadian muslim adalah susunan dan kesatuan unsur-unsur akal dan jiwa seorang muslim yang menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap orang muslim tersebut.
2.      Terdapat beberapa pendekatan dalam psikologi yaitu yaitu tipologis, pensifatan dan faktorial
3.      Pada dasarnya kepribadian terdiri dari 3 bagian, yaitu Id, ego dan super ego.
4.      Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi kepribadian muslim, yaitu faktor keturunan, budaya, sosial
5.      Macam-macam kepribadian muslim terbagi menjadi 3, yaitu ibadah, akhlak personal dan akhlak sosial.


DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Islam dan Kajian Sains, Surabaya: Al-Ikhlas, 1994.

Al-Bukhari, Muhammad, Shahih al-Bukhari, juz 1, Mauqi’u al-Islam: Dalam al-Maktabah al-Syamilah, 2005

Al-Mawardi, Abu al-Hasan, al-Nukat wa al-'uyyun, juz 3, Mauqi'u al Tafasir: Dalam Software al-Maktabah al-Syamilah, 2005.

Al-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, juz 4, Mauqi'ul Islam: Dalam Software al-Maktabah al-Syamilah, 2005.

Alwisol, Psikologi Kepribadian, Malang: UMM Press,2005.

Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Mahjudin, Membina Akhlak Anak, Surabaya: Al-Ikhlas, 1985.

Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Mufarakah,  Anisatul, "Pendidikan Dalam Perspektif Luqman al-Hakim: Kajian Atas QS: Luqman ayat 12-19", dalam Ta'allum Jurnal Pendidikan Islam Vol.18.No.01, juni 2008, 11.

Muslim, Shahih Muslim juz 1, Mauqiu al-Islam: Dalam Software al-Maktabah al-Syamilah.

Najati, M. Utsman, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, terj. Ahmad Rofi’I Utsmani, Bandung: Pustaka, 2000.

Qohar, Mas’ud Khasan Abdul, Kampus Ilmiah Populer, Surabaya: Bintang Pelajar, tt.

Sobur, Alex, Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah, Bandung: Pustaka Setia, 2003.

Soeryosubroto, Soemadi, Psikologi Kepribadian, Yogyakarta: Raka Sorosin, tt.

Sujanto, Agus, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Aksara Baru, 1992.




[1] Dpertemen pendidikan dan kebudayaan, kamus besar bahasa Indonesia,( balai pustaka Jakarta 1990)
[2] Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang: UMM Press,2005), 8.
[3] Chaplin J.P Kamus lengkap psikologi, terjemahan, Kartini kartono, (Rajawali Pres, Jakarta . 1995)
[4] Ibid., 162.
[5] Ibid., 172. Lihat juga Soemadi Soeryosubroto, Psikolog Kepribadian, (Yogyakarta: Sarsin, tt), 169. lihat juga Sobur, Psikologi Umum..., 302-303.
[6] Ibid. (Psikologi Agama), 173.
[7] Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Muhammad al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 1, (Mauqi’u al-Islam: Dalam al-Maktabah al-Syamilah, 2005), 90 . hadits aslinya adalah
وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
[8] Setelah ibu Musa menghanyutkan Musa di sungai Nil, Maka timbullah penyesalan dan kesangsian hatinya lantaran kekhawatiran atas keselamatan Musa bahkan hampir-hampir ia berteriak meminta tolong kepada orang untuk mengambil anaknya itu kembali, yang akan mengakibatkan terbukanya rahasia bahwa Musa adalah anaknya sendiri. Q.S. al-Qhashas/28:10.
[9] Maksudnya: Al Quran itu tidak diturunkan sekaligus, tetapi diturunkan secara berangsur-angsur agar dengan cara demikian hati nabi Muhammad s.a.w menjadi Kuat dan tetap. Q.S. al-Furqan/25:32.
[10] ayat 4-11 menggambarkan peristiwa Turunnya wahyu yang pertama di gua Hira.  Q.S. al-Najm/53:11
[11] Q.S. Ibrahim/14: 43.
[12] Q.S al-An’am/6: 110.
[13] Erhamwilda, konseling islam, (Graha Ilmu yogyakarta, 2009) hal 34
21 Abdullah, Islam dan Kajian Sains, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), 163
[14] Maksudnya: Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun.
[15] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 272.
[16] Ibid., 173.
[17] Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Nukat wa al-'uyyun, juz 3, (Mauqi'u al Tafasir: Dalam Software al-Maktabah al-Syamilah, 2005), 336.
[18] Al-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, juz 4, (Mauqi'ul Islam: Dalam Software al-Maktabah al-Syamilah, 2005), 390. hadits no. 1082.
[19] Anisatul Mufarakah, "Pendidikan Dalam Perspektif Luqman al-Hakim: Kajian Atas QS: Luqman ayat 12-19", dalam Ta'allum Jurnal Pendidikan Islam Vol.18.No.01, juni 2008, 11.
[20] Muslim, Shahih Muslim juz 1, (Mauqiu al-Islam: Dalam Software al-Maktabah al-Syamilah) 147, hadits no. 56.

Minggu, 27 Mei 2012

Muawiyah Dan Dinasti Umayyah (Penaklukan Ke Barat Dan Timur)


Muawiyah Dan Dinasti Umayyah
(Penaklukan Ke Barat Dan Timur)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah panjang umat Islam, ada banyak nama tokoh-tokoh penting yang mampu membawa agama Islam pada kemajuan peradaban. Agama Islam menjadi sebuah gelombang peradaban hebat yang pada masa tersebut belum ada kekuatan lain yang mampu menghentikan semangat syiar dan perluasan wilayah yang tengah dilakukan oleh umat Islam.
Perluasan daerah tersebut sebenarnya telah dilakukan semenjak khalifah pertama (Abu Bakar) memegang tampuk kepemimpinan umat pasca dilakukannya jajak pendapat di antara para sahabat. Perluasan demi perluasan membawa beberapa hal yang pada satu sisi berdampak positif, seperti diterjemahkannya pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab, akulturasi bangsa Arab dengan Persia, dan lain sebagainya. Sementara sisi negatif dari perluasan tersebut, melemahnya kondisi internal umat Islam karena sebagian elit sibuk dengan urusannya sendiri karena dengan banyaknya daerah jajahan berarti banyak pajak yang masuk, militer terangsang untuk terus memburu jarahan, munculnya raja-raja kecil yang kadang kurang terkoordinasi dengan pemerintah pusat, serta ketimpangan social di daerah ibu kota.
Dinasti Umayyah, dengan Muawiyyah sebagai raja yang pertama, telah mampu mengorganisir seluruh kekuatan kultural jazirah Arab dalam satu komandonya, sebab ia berangkat dari salah satu bani dari suku Qurais yang memiliki integritas tinggi, baik dalam kaca mata Mekkah maupun Islam. Sebab pernah nabi bersabda untuk menganjurkan bila kepemimpinan sebaiknya dipegang oleh Qurais.
Hanya saja, keberangkatan Muawiyyah membangun dinastinya membutuhkan proses panjang yang berliku, penuh intrik, konspirasi, dan ancaman dari lawan-lawannya. Walau demikian, Muawiyyah mampu membuktikan pada semuanya bila dirinya merupakan salah satu politisi unggul dalam dunia Islam dan tokoh penting yang berhasil membawa Islam pada kejayaan. Maka makalah ini berusaha melacak jejak-jejak Muawiyyah beserta perluasan yang pernah dilakukan oleh raja-raja dari dinasti Umayyah.

B. Rumusan Masalah

Yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini berdasar dari pemaparan dalam latar belakang adalah:
  1. Siapakah Muawiyyah tersebut?
  2. Bagaimana sejarah kemunculan dinasti Umayyah?
  3. Perluasan yang pernah dilakukan Umayyah meliputi daerah mana saja?
  4. Raja-raja dalam dinasti Umayyah yang berjasa besar adalah?

C. Tujuan Pembahasan

  1. Mengetahui  biografi muawiyyah, pendiri imperium Umayyah.
  2. Mengetahui sejarah berdirinya dinasti Umayyah.
  3. Mengetahui sejauh mana perluasan dari dinasti Umayyah beserta sisi positif dan negatifnya.
  4. Mengetahui raja-raja dari dinasti Umayyah yang memegang peran penting dalam masa pemerintahannya.


BAB II
PEMBAHASAN



A. Muawiyyah ibn Abu Sufyan ibn Harb

Muawiyyah lahir di Makkah pada 597 M dari pasangan Abu Sufyan bin Harb dari bani Umayyah dan Hindun binti Utbah yang juga keturunan bani Umayyah.[1] Muawiyyah tidak terhitung sebagai kelompok pengikut pertama Nabi Muhammad. Ia masuk Islam setelah penaklukan Makkah(fathul Makkah) pada 623 M.[2] Kala itu usianya sekitar 25 tahun, ia masuk Islam bersama dengan ayahnya Abu Sufyan, yang awalnya menjadi mata-mata warga Makkah dan menentang Nabi. Setelah dewasa, Muawiyyah tumbuh sebagai sosok yang berbadan tinggi besar dan gagah.
Di masa Rasulullah masih hidup, Muawiyyah dikabarkan pernah menjadi salah seorang pencatat wahyu.[3] Sepeninggal Rasulullah, ia dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai Gubernur Syam. Posisi itu terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan Sayyidina Ali. Namun, sebagai gubernur, ada satu cacat yang mewarnai pribadi Muawiyyah: senang bermewah-mewah.


Kabar tentang gaya hidup Muawiyyah itu sampai ke telinga Khalifah Umar yang terkenal keras dan amat sederhana. Maka pada suatu ketika, Khalifah Umar pun singgah ke Syam untuk membuktikannya. Begitu menyaksikan sendiri cara hidup Muawiyyah, Khalifah Umar pun menegurnya dengan cukup keras.
Teguran itu dijawab Muawiyyah dengan alasan yang masuk akal. Menurut dia, kini ia tengah berada di kawasan yang penuh dengan mata-mata musuh Islam. Karena itu, ia merasa harus menunjukkan kemuliaan penguasa Islam yang berarti juga kemuliaan Islam dan seluruh muslim. Dengan begitu, musuh-musuh Islam akan gentar. Muawiyyah juga memberi catatan, bila Khalifah menginginkan, ia akan menghentikan gaya hidup seperti itu.
Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar tidak melarang dan tidak pula menganjurkan Muawiyyah melanjutkan caranya itu. Umar hanya mengingatkan risikonya harus ditanggung sendiri. Bila niat itu benar, itu adalah pendapat Muawiyyah sendiri. Tapi, jika itu batil, cara itu merupakan tipu daya Muawiyyah sendiri. “Aku tidak menyuruhmu dan tidak pula melarangmu,” ujar Umar waktu itu.[4]

Ada sebuah ungkapan yang dikenal luas dari pribadi Muawiyyah di kalangan Arab, bahkan sampai sekarang, yang berbunyi:

Aku tidak akan menggunakan pedangku selama cambukku sudah cukup. Aku tidak akan menggunakan cambukku selama lidahku masih bisa mengatasi. Jika ada rambut yang membentang antara diriku dan orang yang menentang diriku, maka rambut itu tidak akan pernah putus selamanya. Jika mereka mengulurnya, aku akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka aku akan mengulurnya. [5]

Hal tersebut memang mengisyaratkan tentang kepribadian Muawiyyah yang terkenal pandai dalam bernegosiasi. Dengan jalan negosiasi (perang adalah bentuk negosiasi terakhir ketika upaya perundingan tidak tercapai. Lihat bagaimana suku-suku kuno atau Negara-negara modern melakukan upaya diplomasi lebih dahulu dalam kerangka membangun negosiasi, ketika upaya diplomasi gagal, maka ada yang memakai jalan perang untuk membuktikan superioritasnya) pula, Muawiyyah membangun daulah yang mampu membuat Islam sebagai kekuatan baru, ketika Persia dan Bizantium mulai kehilangan pijakan.

Muawiyyah juga membuat perubahan mendasar dalam angkatan perang yang dimilikinya. Muawiyyah mencoba membuat kesetiaan para angkatan perangnya tidak hanya tertuju pada kabilah (bisa diartikan marga) atau suku, namun kepada pemerintah yang telah dibentuknya.[6] Sehingga dengan demikian ia mendapat legitimasi dari seluruh pasukannya yang tidak terdiri dari satu kabilah atau satu suku saja. Karena kepandaian negosiasi serta mampu mempertemukan sekian suku yang ada di jazirah Arab tersebut, akhirnya kebesaran nama Muawiyyah meemukan relevansinya.
Selain itu pula, terhadap umat beragama lain, Muawiyyah juga menjaga toleransi demi persatuan yang tengah ia bangun. Tidak jarang ada pegawai non muslim yang menempati posisi strategis dari pemerintahannya, ia sendiri menikahi salah satu dari perempuan nasrani.[7] Sehingga hubungan interaksi umat islam dengan yang lainnya, pada kala tersebut bisa dikatakan lumayan baik.

B. Berdirinya Kerajaan Bani Umayyah

Sejarah yang membuat Muawiyyah membentuk kerajaan Umayyah tergolong menarik untuk disimak secara lebih lanjut. Prosesnya dimulai ketika dirinya ditunjuk untuk menjadi gubernur di Syam. Ia mampu membuat daerah tersebut menjadi daerah paling kaya di antara seluruh daerah di kekuasaan Islam. Ia menjadi gubernur karena jasa-jasanya yang fenomenal, seperti keberhasilannya mematahkan serangan Romawi dan mengepung Konstantinopel, serta membuat armada laut yang membuat gerakan pasukan muslim semakin luas.[8]  Sewaktu menjabat di Syam, Muawiyyah memang terbilang sebagai gubernur yang cakap dalam mengembangkan potensi yang ada di daerahnya, selain itu ia juga ingin membuat cerminan atas Negara muslim kepada lawan-lawan Islam kalau islam adalah sebuah Negara yang kaya dan tangguh.
Peristiwa yang menjadi pemicu dari keberanian Muawiyyah untuk membuat imperium sendiri adalah ketika khalifah usman meninggal terbunuh dalam sebuah konspirasi politik yang rumit. Khalifah Utsman bagi sebagian besar umat Islam kala itu dinilai terlalu nepotis. Hanya mengandalkan kerabat dan kenalan yang dinilai seide untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan yang ia pimpin.
Utsman dapat menjadi khalifah melewati pertimbangan yang cukup rumit. Ada dua kelompok (bani) dalam Islam yang disegani secara hirarkhis dalam masa itu, yaitu bani Umayyah dan bani hasyim. Keduanya juga memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh bani-bani lain, bani Umayyah terkenal ulung dalam masalah perniagaan (kekayaan) serta politik. Sedangkan bani Hasyim lebih pada kecenderungan religius (bani Hasyim pada beberapa periode menjadi juru kunci dari Ka’bah) dan tingkat intelektual mereka.
Pemilihan Utsman menjadi khalifah ada dua hal yang melandasinya, pertama adalah, kemungkinan menarik kembali jabatan dari bani Umayyah lebih bisa dimungkinkan dari pada bani Hasyim. Karena bani hasyim telah memiliki basic hegemoni yang kuat di kalangan umat Islam. Kedua, para elit islam ingin metode baru (system pemerintahan), karena menganggap bahwa Umar terlalu tegas, keras dan mengedepankan disiplin. Berbeda dengan Utsman yang cenderung untuk mengambil upaya diplomasi dan kurang begitu mampu untuk memaksakan keputusan yang dibuatnya sendiri.[9]
Dampak dari naiknya Utsman menjadi khalifah juga cukup besar, tampilnya bani Umayyah menjadi kerajaan bayangan dari Negara Islam yang dipimpin oleh Utsman, sehingga sangat masuk akal kalau Muawiyyah menjadi marah atas terbunuhnya utsman. Karena posisi bani Umayyah sudah cukup kuat secara politis, dengan berani Muawiyyah menyatakan tidak akan mengakui pemerintahan Ali sebelum pembunuh Utsman ditangkap. Pembangkangan Muawiyyah ini menjadi jalan dari perang Shiffin yang kemudian melahirkan peristiwa tahkim.
Harus dipahami betul bahwa bani Umayyah memiliki naluri politik dan strategi yang handal, maka tidak mengherankan kalau pemenang dari konflik antara Ali dan Muawiyyah adalah Muawiyyah, meski secara taktik militer muawiyyah tertinggal jauh dari Ali. Maka kemudian pasca tahkim ini muncul kelompok-kelompok dalam Islam yang menjadikan Islam sebuah agama sekaligus identitas kelompok mereka.[10]

Tahkim menjadi titik awal kelemahan pihak Ali dan kebangkitan Muawiyyah dalam memperkokoh bangunan imperium yang hendak disusunnya. Karena setelah peristiwa tersebut, pihak Ali terpecah menjadi dua bagian, sementara di kelompok Muawiyyah menjadi semakin yakin akan keberhasilan mereka. Padahal peristiwa tahkim adalah sebuah siasat untuk melarikan diri dari peperangan dengan memakai taktik politik.
Karena ada dua bentuk pemerintahan dalam sebuah Negara Islam, yaitu Ali dan Muawiyyah, masyarakat menjadi terkena imbasnya, beberapa daerah yang masih loyal terhadap Ali dan secara territorial lebih dekat kepada Muawiyyah menjadi lahan konflik.[11]
Setelah ali meninggal karena terbunuh, puteranya Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyyah, hal mana untuk mengurangi perpecahan yang terjadi, serta membuat satu pemimpin yang sah dan untuk diikuti oleh seluruh umat.[12] Langkah Hasan ibn Ali ini merupakan langkah diplomatis yang memang sudah seharusnya ia melakukan hal tersebut. Karena Ali sebagai symbol khalifah yang sah sudah meninggal, dan Muawiyyah telah menyatakan kekuasaannya. Perang yang sudah berlangsung antara umat islam sendiri mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Karenanya, langkah Hasan ibn Ali bukan semata-mata tanpa pertimbangan yang nyata.
Pada tahun 41 H/661 M, Muawiyyah memindahkan pusat pemerintahannya ke Damaskus, yang melatarbelakangi kepindahannya adalah, bahwa Damaskus merupakan daerah yang subur dan penghasil bahan pangan. Kondisi ini akan mendukung dalam upayanya melakukan persiapan menaklukkan daerah luar Arab. Selain itu pula, Muawiyyah ingin sedikit meredakan pertentangan di sekitar wilayah Arab bagian tengah, lebih tepatnya pertentangan dirinya dengan kelompok khawarij maupun sisa-sisa pengikut Ali. Namun yang lebih kuat adalah, bahwa dahulu semenjak ia berhasil membuat angkatan laut, ada ambisi terpendam untuk menguasai daerah-daerah luar Arab yang selama periode ke belakang masih dipegang oleh kekuasan Persia atau Byzantium. Di luar jazirah Arab, masih terdapat hal-hal baru yang tidak terdapat di jazirah Arab, itulah salah satu alasan utama kepindahan Muawiyyah ke Damaskus.
Sebelum meninggal dalam usianya yang ke-83, Muawiyyah telah menunjuk anaknya Yazid untuk mengantikannya sebagai Raja, dengan demikian nyatalah bahwa konsep Negara modern yang coba dibangun oleh Nabi Muhammad dan dikembangkan oleh para sahabatnya harus hancur di tangan Muawiyyah, sebab konsep tadi untuk peradaban manusia pada masa tersebut terlalu canggih dan kurang mengenal kultur yang ada. Konsep monarchi hereditis ini selain dipakai Muawiyyah untuk menguatkan posisi dirinya dan bani Umayyah juga berguna untuk membuat umat Islam hanya berada pada satu komando, dan tentunya pemegang komando tersebut adalah keturunannya dan sekelompok orang dari dinasti Umayyah.


C. Perluasan Yang Dilakukan Dinasti Umayyah Beserta Sisi Positif  Dan Negatifnya

Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah  sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.[13]

Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib dilanjutkan kembali oleh daulah ini. Di zaman Muawiyah Ibn Abu Sufyan Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik Ibn Marwan. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman al-Walid ibn Abdul Malik. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Thariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar ibn Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.[14]

Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. [15]
Khalifah Abdul-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.[16] Keberhasilan Khalifah Abdul-Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid ibn Abd al-Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat.[17] Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.


Pada masa Umar ibn Abdul Aziz, sekolah kedokteran yang pada awalnya berada di Alexandria dipindahkan ke Antokia.[18] Di bawah pemerintahannya karya Yunani banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Pada masa ini pula ilmu tafsir  mulai berkembang dengan pesat. Ilmu tafsir memiliki letak yang strategis, disamping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam. Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa Al Quran dan makna Al Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu.
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M, pernah mengirim surat kepada Abu Bakar ibn Amir bin Ham dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadits, namun hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak terlaksana.[19] Sungguhpun demikian pemerintahan Umar ibn Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternative, yakni para ulama mencari hadist ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal metode Rihlah. Pada masa inilah, kitab tentang ilmu hadist sudah mulai dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadist yang terkenal pada masa itu, antara lain : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’i Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Sya’bi.
Dibidang fiqh secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli al-Ra’y dan aliran al hadist, kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al Quran dan hadits yang menerangkannya.
Sisi positif dari perluasan wilayah ini adalah adanya dialektika pengetahuan islam dengan pengetahuan lain, seperti ilmu-ilmu filsafat Yunani, serta metode-metode illuminasi dari daerah Persia serta daerah India. Kesemuanya melebur menadi satu dan mewujud dalam khazanah pengetahuan yang mau atau tidak mau mengakuinya bahwa, Islam menyelamatkan bentuk pengetahuan tesebut untuk dibawa kepada generasi setelahnya.[20]
Sementara sisi negative dari perluasan tersebut adalah, terkonsentrasinya kebijakan-kebijakan pemerintah yang hanya berorientasi pada perluasan daerah, sebab mereka menemukan hal baru yang tidak terdapat pada peradaban di daerahnya. Hal ini membuat beberapa perubahan mendasar dalam basic epistemology Islam. Karena dialektika pengetahuan tidak selamanya akan berakhir dengan tergabungnya unsure-unsur terbaik dari tesis dan anti tesis, namun dialektika kadang menjadi sebuah bentuk pemaksaan ideology atau pengetahuan karena anti tesis tidak mampu menjadi lawan dari tesisi itu sendiri.

D. Raja-Raja Yang Memerintah Dalam Daulah Umayyah

1. Mu’awiyah I bin Abi Sufyan (41-61H/661-680M)
2. Yazid bin Mu’awiyah (61-64H/680-683M)
3. Mu’awiyah II bin Yazid (64-65H/683-684M)
4. Marwan bin Hakam (65-66H/684-685M)
5. Abdul Malik bin Marwan (66-86H/685-705M)
6. Al-Walid bin Abdul Malik (86-97H/705-715M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (97-99H/715-717M)
8. Umar bin Abdul Azis (99-102H/717-720M)
9. Yazid bin Abdul Malik (102-106H/720-724M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (106-126H/724-743M)
11. Al-Walid II bin Yazid (126-127H/743-744M)
12. Yazid III bin Walid(127H/744M)
13. Ibrahim bin Malik (127H/744M)















BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Muawiyyah berasal dari bani Umayyah, sebuah bani yang memainkan peran penting dalam suku Quraisy karena kecakapan mereka dalam bidang perdagangan dan negosiasi politik. Berangkat dari lingkungan yang sudah mempunyai dasar perpolitikan inilah Muawiyyah kemudian tumbuh menjadi calon penguasa yang mahir dalam beberapa bidang. Muawiyyah sempat pula membuat Syam sebagai kawasan terkaya selama pemerintahan khalifah Umar, hal ini karena ia mampu mengoptimalkan sumberdaya yang ada di daerah tersebut.
Proses berdirinya kerajaan Umayyah tidak terlepas dari peran Utsman yang diangkat menjadi khalifah Umar yang meninggal karena terbunuh, karena Utsman juga berasal dari bani Umayyah, memiliki kecenderungan yang sama dengan Muawiyyah, meski puncak dari perebutan kekuasaan tersebut adalah saat peristiwa tahkim dalam perang shiffin. Kemudian baru secara hukum Muawiyyah menjadi khalifah yang sah pasca Hasan ibn Ali menyerahkan kekuasaan kepadanya dengan berbagai macam pertimbangan, salah satunya adalah menghindari perang saudara yang terus menerus terjadi antara umat Islam.
Perluasan Bani Umayyah telah mencapai Eropa, Afrika utara, dan sebagian wilayah Asia tengah, serta Asia kecil. Perluasan tersebut membawa perubahan yang cukup signifikan pula dalam khazanah pengetahuan umat Islam serta system pemerintahan yang ingin dikembangkan oleh Bani Umayyah. Mereka kemudian mampu membuat mata uang tersendiri, system administrasi kenegaraan yang lebih baik, dan tentunya adalah pembenahan-pembenahan lain yang mampu membuat dinasti Umayyah memainkan perannya di tingkatan internasional. Kelemahan dari perluasan tersebut adalah tergerusnya bahasa dan budaya dari bangsa Arab karena kurang mampu bersaing dengan budaya-budaya baru yang ditemukan semasa perluasan daerah kekuasaan.
Ada empat belas raja yang memimpin dalam dinasti Umayyah, kesemuanya memiliki kelebihan dan kekurangan, walaupun begitu, terlepas dari salah dan benar, sejarah masa lalu adalah proses terciptanya cermin untuk masa sekarang supaya ke depan, peradaban ini menjadi lebih baik.

B. Saran
Dalam lingkungan akademik, penelitian terhadap sejarah (tidak hanya sebatas pada sejarah Islam) merupakan sebuah kata kunci untuk dapat meraba hubungan antara kenyataan masa sekarang serta harapan masa yang akan datang. Dengan mengetahui sejarah masa lalu, seseorang mampu memahami kenapa karakteristik sebuah Negara menjadi sangat berbeda dengan yang lainnya, ada hubungan genealogis dan cultural territorial yang akan membantu memecahkan beberapa masalah dalam ilmu-ilmu social.
Sehingga bisa ditebak kenapa bangsa-bangsa Arab meskipun mempunyai ikatan emosional yang dalam, namun ternyata masih dapat dipecah belah oleh pihak asing. Karena meski mereka sudah mengadopsi system modern, namun mereka masih terikat system kesukuan, dan hanya berpikir pragmatis serta mengambil mana yang lebih menguntungkan untuk kepentingan mereka sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin, Husayn, Seratus Tokoh Dalam Islam, ed. Cucu Juanda , Bandung: Rosda   Karya, 2001.
A. Syalabi,  Sejarah dan Kebudayaan Islam I, pent. Mukhtar Yahya Jakarta: Al Husna Dzikra, 2000.
-------------,  Sejarah dan Kebudayaan Islam II, pent. Mukhtar Yahya Jakarta: Al Husna Dzikra, 2000.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994, vol. V
http//.www.wordpress.com.Tinjauan Kritis Terhadap Fase-Fase Peradaban Islam.Sabtu 28 November 2009
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2002.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1981.


[1] http//.www.wordpress.com.Tinjauan Kritis Terhadap Fase-Fase Peradaban Islam.Sabtu 28 November 2009
[2] Bernard lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, pent. Said jamhuri (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994) hal. 33.
[3] Informasi ini kurang begitu valid, mengingat keislaman Muawiyyah tergolong baru, serta mendekati Nabi wafat. Sebagaimana telah diketahui, pasca haji wada’ tidak turun lagi wahyu. Pendapat tentang Muawiyyah sebagai pencatat wahyu bisa saja terjadi kalau ia mencari data tentang wahyu tersebut semenjak masuk Islam. Dan ia sering bertanya terhadap para sahabat yang hafal Qur’an dan mengetahui sebagian besar turunnya wahyu. Sehingga kemungkinan besar informasi bila Muawiyyah adalah pencatat wahyu kalau ditelisk lebih jauh semakin menunjukkan bila para kerabat dari Muawiyyah ingin menciptakan sebuah pandangan yang lebih bersih tentang pribadi Muawiyyah.
[4] http//.www.wordpress.com
[5] Ungkapan ini seelanjutnya terkenal dengan nama rambut Muawiyyah, lih. Ahmad Amin, Husayn, Seratus Tokoh Dalam Islam, ed. Cucu Juanda (Bandung: Rosda Karya,2001) hal. 26.
[6] Revolusi dalam bidang militer ini merupakan ide-ide Muawiyyah setelah mengetahui system administrasi serta bentuk kesetiaan pasukan Bizantium yang hanya tertuju pada raja mereka. Akibat dari konsekuensi perubahan tadi adalah, Negara menetapkan gaji yang tetap terhadap para pasukan, hal itu belum termasuk rampasan perang, tanah liar, dan promosi-promosi penting lain. Tetapi yang menarik dari revolusi militer ini adalah, semakin menguatnya kesetiaan para pasukan hanya kepada Muawiyyah, karena mereka merasa mendapatkan manfaat dari kepatuhan tersebut yang mungkin tidak diperoleh ketika masih terfokus pada kesetiaan terhadap kabilah masing-masing.
[7] Keluarga Sarjun adalah pemeluk nasrani, secara turun temurun tuga mengelola bait al –mal diserahkan kepada mereka. Muawiyyah menikahi Masyun, seorang perempuan nasrani, dari perempuan ini kemudian lahirlah Yazid, yang menjadi raja setelahnya. Lih, Ahmad Amin, Husayn…26.
[8] Pembuatan armada laut terjadi sekitar tahun 653 M. dan yang mengangkatnya menjadi gubernur di Syam adalah khalifah Umar. A. Syalabi,  Sejarah dan Kebudayaan Islam II, pent. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna Dzikra, 200) hal. 48.
[9] Sebenarnya factor ini ada tiga, yang terakhir adalah sebuah kenyataan bahwa Utsman lebih tua dari pada Ali, dengan pengalaman dan kebijakannya pula, diharapkan Utsman mampu membuat perubahan besar dalam Negara Islam. Hanya saja kemudian, 2 faktor ini lebih bernuansa politis dari pada ideologis. Ini terjadi sebab terlihat jelas pertarungan kepentingan antara elit-elit Islam yang terjadi semenjak Nabi Muhammada meninggal. Beruntung Abu BAkar dan Umar mampu meredam konflik tersebut sehingga untuk beberapa waktu konflik itu menipis.A. Syalabi,  Sejarah dan Kebudayaan Islam I, pent. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna Dzikra, 200) hal. 273
[10] Maksudnya adalah, dari peristiwa tahkim ini muncul khawarij dan syiah yang meskipun islam, tapi mereka mempunyai perspektif tersendiri tentang apa itu sebenarnya Islam. Perbedaan cara pandang dalam memahami Islam ini selanjutnya melahirkan perkembangan yang luar biasa dalam khazanah pengetahuan islam.
[11] Kondisi ini dialami oleh gubernur Mesir Qais ibn Sa’ad yang meskipun ia masih sangat loyal pada Ali, ia ternyata tidak dapat mengatasi tipu daya Muawiyyah, karena Qais tidak dapat dibujuk oleh Muawiyyah untuk meninggalkan Ali, namun ternyata Muawiyyah di luar Mesir telah membangun sebuah isu politik bila Qais merupakan gubernur yang mengakui Muawiyyah sebagai pemerintahan yang sah. Karena isu yang terbangun begitu kuat dan sampai pada khalifah Ali, akhirnya Qais sendiri posisinya digantikan oleh Muhammad ibn abi Bakar yang kurang idealis dan tidak memiliki sikap toleransi tinggi seperti yang praktekkan oleh Qais. Akhirnya Muhammad ibn Abi Bakar meninggal karena diserang oleh pasukan Muawiyyah yang secara sengaja menunggu saat yang tepat untuk mengalahkan Mesir. Lih. A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam I….hal 306
[12] Ada tiga orang yang sebenarnya menjadi sasaran pembunuhan berencana yang dilakukan oleh sekelompok golongan yang kecewa terhadap peristiwa tahkim (khawarij), yaitu Ali ibn Abi Thalib, Muawiyyah ibn Abi Sufyan, dan Amr ibn Ash. Ali ibn Abi Thalib berhasil mereka bunuh, sementara Muawiyyah hanya mengalami luka, dan Amr ibn Ash terhindar dari pembunuhan. Peristiwa ini membuat khawarij sebagai musuh bersama baik dari pihak Ali maupun Muawiyyah karena langkah-langkah ekstrem mereka. Dan sewaktu Muawiyyah menjadi khalifah yang tunggal, perburuan terhadap kelompok ini gencar dilakukan untuk memberangus ajaran dan pengikutnya.
[13] Bernard Lewis…..89
[14] www.wordpress.com
[15] Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1981), 87
[16] Ibid, 88
[17] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994, vol. V) hlm.130

[18] Yunus, Mahmud….90
[19] www. Wordpress.com
[20]Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam(Jakarta: Rajawali Pers,2002) hal 65