Muawiyah Dan Dinasti Umayyah
(Penaklukan Ke Barat Dan Timur)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah panjang umat Islam, ada banyak nama tokoh-tokoh
penting yang mampu membawa agama Islam pada kemajuan peradaban. Agama Islam
menjadi sebuah gelombang peradaban hebat yang pada masa tersebut belum ada
kekuatan lain yang mampu menghentikan semangat syiar dan perluasan wilayah yang
tengah dilakukan oleh umat Islam.
Perluasan daerah tersebut sebenarnya telah dilakukan semenjak
khalifah pertama (Abu Bakar) memegang tampuk kepemimpinan umat pasca
dilakukannya jajak pendapat di antara para sahabat. Perluasan demi perluasan
membawa beberapa hal yang pada satu sisi berdampak positif, seperti
diterjemahkannya pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab, akulturasi bangsa Arab
dengan Persia,
dan lain sebagainya. Sementara sisi negatif dari perluasan tersebut, melemahnya
kondisi internal umat Islam karena sebagian elit sibuk dengan urusannya sendiri
karena dengan banyaknya daerah jajahan berarti banyak pajak yang masuk, militer
terangsang untuk terus memburu jarahan, munculnya raja-raja kecil yang kadang
kurang terkoordinasi dengan pemerintah pusat, serta ketimpangan social di
daerah ibu kota.
Dinasti Umayyah, dengan Muawiyyah sebagai raja yang pertama, telah
mampu mengorganisir seluruh kekuatan kultural jazirah Arab dalam satu
komandonya, sebab ia berangkat dari salah satu bani dari suku Qurais yang
memiliki integritas tinggi, baik dalam kaca mata Mekkah maupun Islam. Sebab
pernah nabi bersabda untuk menganjurkan bila kepemimpinan sebaiknya dipegang
oleh Qurais.
Hanya saja, keberangkatan Muawiyyah membangun dinastinya membutuhkan
proses panjang yang berliku, penuh intrik, konspirasi, dan ancaman dari
lawan-lawannya. Walau demikian, Muawiyyah mampu membuktikan pada semuanya bila
dirinya merupakan salah satu politisi unggul dalam dunia Islam dan tokoh
penting yang berhasil membawa Islam pada kejayaan. Maka makalah ini berusaha
melacak jejak-jejak Muawiyyah beserta perluasan yang pernah dilakukan oleh
raja-raja dari dinasti Umayyah.
B. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini berdasar dari
pemaparan dalam latar belakang adalah:
- Siapakah Muawiyyah tersebut?
- Bagaimana sejarah kemunculan dinasti Umayyah?
- Perluasan yang pernah dilakukan Umayyah meliputi daerah mana saja?
- Raja-raja dalam dinasti Umayyah yang berjasa besar adalah?
C. Tujuan Pembahasan
- Mengetahui biografi muawiyyah, pendiri imperium Umayyah.
- Mengetahui sejarah berdirinya dinasti Umayyah.
- Mengetahui sejauh mana perluasan dari dinasti Umayyah beserta sisi positif dan negatifnya.
- Mengetahui raja-raja dari dinasti Umayyah yang memegang peran penting dalam masa pemerintahannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Muawiyyah ibn Abu Sufyan ibn Harb
Muawiyyah lahir di Makkah pada 597 M dari pasangan Abu Sufyan bin
Harb dari bani Umayyah dan Hindun binti Utbah yang juga keturunan bani Umayyah.[1]
Muawiyyah tidak terhitung sebagai kelompok pengikut pertama Nabi Muhammad. Ia
masuk Islam setelah penaklukan Makkah(fathul Makkah) pada 623 M.[2] Kala itu
usianya sekitar 25 tahun, ia masuk Islam bersama dengan ayahnya Abu Sufyan,
yang awalnya menjadi mata-mata warga Makkah dan menentang Nabi. Setelah dewasa,
Muawiyyah tumbuh sebagai sosok yang berbadan tinggi besar dan gagah.
Di masa Rasulullah masih hidup, Muawiyyah dikabarkan pernah menjadi
salah seorang pencatat wahyu.[3] Sepeninggal Rasulullah, ia dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab
sebagai Gubernur Syam. Posisi itu terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan
Sayyidina Ali. Namun, sebagai gubernur, ada satu cacat yang mewarnai pribadi
Muawiyyah: senang bermewah-mewah.
Kabar tentang gaya hidup Muawiyyah itu sampai ke telinga
Khalifah Umar yang terkenal keras dan amat sederhana. Maka pada suatu ketika,
Khalifah Umar pun singgah ke Syam untuk membuktikannya. Begitu menyaksikan
sendiri cara hidup Muawiyyah, Khalifah Umar pun menegurnya dengan cukup keras.
Teguran itu dijawab Muawiyyah dengan alasan
yang masuk akal. Menurut dia, kini ia tengah berada di kawasan yang penuh
dengan mata-mata musuh Islam. Karena itu, ia merasa harus menunjukkan kemuliaan
penguasa Islam yang berarti juga kemuliaan Islam dan seluruh muslim. Dengan
begitu, musuh-musuh Islam akan gentar. Muawiyyah juga memberi catatan, bila
Khalifah menginginkan, ia akan menghentikan gaya hidup seperti itu.
Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar tidak
melarang dan tidak pula menganjurkan Muawiyyah melanjutkan caranya itu. Umar
hanya mengingatkan risikonya harus ditanggung sendiri. Bila niat itu benar, itu
adalah pendapat Muawiyyah sendiri. Tapi, jika itu batil, cara itu merupakan
tipu daya Muawiyyah sendiri. “Aku tidak menyuruhmu dan tidak pula melarangmu,”
ujar Umar waktu itu.[4]
Ada
sebuah ungkapan yang dikenal luas dari pribadi Muawiyyah di kalangan Arab,
bahkan sampai sekarang, yang berbunyi:
Aku tidak akan menggunakan pedangku selama cambukku
sudah cukup. Aku tidak akan menggunakan cambukku selama lidahku masih bisa
mengatasi. Jika ada rambut yang membentang antara diriku dan orang yang
menentang diriku, maka rambut itu tidak akan pernah putus selamanya. Jika
mereka mengulurnya, aku akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka aku akan
mengulurnya. [5]
Hal tersebut memang mengisyaratkan tentang kepribadian Muawiyyah
yang terkenal pandai dalam bernegosiasi. Dengan jalan negosiasi (perang adalah
bentuk negosiasi terakhir ketika upaya perundingan tidak tercapai. Lihat
bagaimana suku-suku kuno atau Negara-negara modern melakukan upaya diplomasi
lebih dahulu dalam kerangka membangun negosiasi, ketika upaya diplomasi gagal,
maka ada yang memakai jalan perang untuk membuktikan superioritasnya) pula,
Muawiyyah membangun daulah yang mampu membuat Islam sebagai kekuatan baru,
ketika Persia
dan Bizantium mulai kehilangan pijakan.
Muawiyyah juga membuat perubahan mendasar dalam angkatan perang yang
dimilikinya. Muawiyyah mencoba membuat kesetiaan para angkatan perangnya tidak
hanya tertuju pada kabilah (bisa diartikan marga) atau suku, namun kepada
pemerintah yang telah dibentuknya.[6]
Sehingga dengan demikian ia mendapat legitimasi dari seluruh pasukannya yang
tidak terdiri dari satu kabilah atau satu suku saja. Karena kepandaian
negosiasi serta mampu mempertemukan sekian suku yang ada di jazirah Arab
tersebut, akhirnya kebesaran nama Muawiyyah meemukan relevansinya.
Selain itu pula, terhadap umat beragama lain, Muawiyyah juga menjaga
toleransi demi persatuan yang tengah ia bangun. Tidak jarang ada pegawai non
muslim yang menempati posisi strategis dari pemerintahannya, ia sendiri
menikahi salah satu dari perempuan nasrani.[7]
Sehingga hubungan interaksi umat islam dengan yang lainnya, pada kala tersebut
bisa dikatakan lumayan baik.
B. Berdirinya Kerajaan Bani Umayyah
Sejarah yang membuat Muawiyyah membentuk kerajaan Umayyah tergolong
menarik untuk disimak secara lebih lanjut. Prosesnya dimulai ketika dirinya
ditunjuk untuk menjadi gubernur di Syam. Ia mampu membuat daerah tersebut
menjadi daerah paling kaya di antara seluruh daerah di kekuasaan Islam. Ia
menjadi gubernur karena jasa-jasanya yang fenomenal, seperti keberhasilannya
mematahkan serangan Romawi dan mengepung Konstantinopel, serta membuat armada
laut yang membuat gerakan pasukan muslim semakin luas.[8] Sewaktu menjabat di Syam, Muawiyyah memang
terbilang sebagai gubernur yang cakap dalam mengembangkan potensi yang ada di
daerahnya, selain itu ia juga ingin membuat cerminan atas Negara muslim kepada
lawan-lawan Islam kalau islam adalah sebuah Negara yang kaya dan tangguh.
Peristiwa yang menjadi pemicu dari keberanian Muawiyyah untuk
membuat imperium sendiri adalah ketika khalifah usman meninggal terbunuh dalam
sebuah konspirasi politik yang rumit. Khalifah Utsman bagi sebagian besar umat
Islam kala itu dinilai terlalu nepotis. Hanya mengandalkan kerabat dan kenalan
yang dinilai seide untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan yang ia pimpin.
Utsman dapat menjadi khalifah melewati pertimbangan yang cukup
rumit. Ada dua
kelompok (bani) dalam Islam yang disegani secara hirarkhis dalam masa itu,
yaitu bani Umayyah dan bani hasyim. Keduanya juga memiliki keistimewaan
tersendiri yang tidak dimiliki oleh bani-bani lain, bani Umayyah terkenal ulung
dalam masalah perniagaan (kekayaan) serta politik. Sedangkan bani Hasyim lebih
pada kecenderungan religius (bani Hasyim pada beberapa periode menjadi juru
kunci dari Ka’bah) dan tingkat intelektual mereka.
Pemilihan Utsman menjadi khalifah ada dua hal yang melandasinya,
pertama adalah, kemungkinan menarik kembali jabatan dari bani Umayyah lebih
bisa dimungkinkan dari pada bani Hasyim. Karena bani hasyim telah memiliki
basic hegemoni yang kuat di kalangan umat Islam. Kedua, para elit islam ingin
metode baru (system pemerintahan), karena menganggap bahwa Umar terlalu tegas,
keras dan mengedepankan disiplin. Berbeda dengan Utsman yang cenderung untuk
mengambil upaya diplomasi dan kurang begitu mampu untuk memaksakan keputusan
yang dibuatnya sendiri.[9]
Dampak dari naiknya Utsman menjadi khalifah juga cukup besar,
tampilnya bani Umayyah menjadi kerajaan bayangan dari Negara Islam yang
dipimpin oleh Utsman, sehingga sangat masuk akal kalau Muawiyyah menjadi marah
atas terbunuhnya utsman. Karena posisi bani Umayyah sudah cukup kuat secara
politis, dengan berani Muawiyyah menyatakan tidak akan mengakui pemerintahan
Ali sebelum pembunuh Utsman ditangkap. Pembangkangan Muawiyyah ini menjadi
jalan dari perang Shiffin yang kemudian melahirkan peristiwa tahkim.
Harus dipahami betul bahwa bani Umayyah memiliki naluri politik dan
strategi yang handal, maka tidak mengherankan kalau pemenang dari konflik
antara Ali dan Muawiyyah adalah Muawiyyah, meski secara taktik militer
muawiyyah tertinggal jauh dari Ali. Maka kemudian pasca tahkim ini muncul
kelompok-kelompok dalam Islam yang menjadikan Islam sebuah agama sekaligus
identitas kelompok mereka.[10]
Tahkim menjadi titik awal kelemahan pihak Ali dan kebangkitan
Muawiyyah dalam memperkokoh bangunan imperium yang hendak disusunnya. Karena
setelah peristiwa tersebut, pihak Ali terpecah menjadi dua bagian, sementara di
kelompok Muawiyyah menjadi semakin yakin akan keberhasilan mereka. Padahal
peristiwa tahkim adalah sebuah siasat untuk melarikan diri dari peperangan
dengan memakai taktik politik.
Karena ada dua bentuk pemerintahan dalam sebuah Negara Islam, yaitu
Ali dan Muawiyyah, masyarakat menjadi terkena imbasnya, beberapa daerah yang
masih loyal terhadap Ali dan secara territorial lebih dekat kepada Muawiyyah
menjadi lahan konflik.[11]
Setelah ali meninggal karena terbunuh, puteranya Hasan menyerahkan
kekuasaan kepada Muawiyyah, hal mana untuk mengurangi perpecahan yang terjadi,
serta membuat satu pemimpin yang sah dan untuk diikuti oleh seluruh umat.[12]
Langkah Hasan ibn Ali ini merupakan langkah diplomatis yang memang sudah
seharusnya ia melakukan hal tersebut. Karena Ali sebagai symbol khalifah yang
sah sudah meninggal, dan Muawiyyah telah menyatakan kekuasaannya. Perang yang
sudah berlangsung antara umat islam sendiri mengakibatkan kerugian yang tidak
sedikit. Karenanya, langkah Hasan ibn Ali bukan semata-mata tanpa pertimbangan
yang nyata.
Pada tahun 41 H/661 M, Muawiyyah memindahkan pusat pemerintahannya
ke Damaskus, yang melatarbelakangi kepindahannya adalah, bahwa Damaskus
merupakan daerah yang subur dan penghasil bahan pangan. Kondisi ini akan
mendukung dalam upayanya melakukan persiapan menaklukkan daerah luar Arab.
Selain itu pula, Muawiyyah ingin sedikit meredakan pertentangan di sekitar
wilayah Arab bagian tengah, lebih tepatnya pertentangan dirinya dengan kelompok
khawarij maupun sisa-sisa pengikut Ali. Namun yang lebih kuat adalah, bahwa
dahulu semenjak ia berhasil membuat angkatan laut, ada ambisi terpendam untuk
menguasai daerah-daerah luar Arab yang selama periode ke belakang masih
dipegang oleh kekuasan Persia
atau Byzantium.
Di luar jazirah Arab, masih terdapat hal-hal baru yang tidak terdapat di
jazirah Arab, itulah salah satu alasan utama kepindahan Muawiyyah ke Damaskus.
Sebelum meninggal dalam usianya yang ke-83, Muawiyyah telah menunjuk
anaknya Yazid untuk mengantikannya sebagai Raja, dengan demikian nyatalah bahwa
konsep Negara modern yang coba dibangun oleh Nabi Muhammad dan dikembangkan
oleh para sahabatnya harus hancur di tangan Muawiyyah, sebab konsep tadi untuk
peradaban manusia pada masa tersebut terlalu canggih dan kurang mengenal kultur
yang ada. Konsep monarchi hereditis ini selain dipakai Muawiyyah untuk
menguatkan posisi dirinya dan bani Umayyah juga berguna untuk membuat umat Islam
hanya berada pada satu komando, dan tentunya pemegang komando tersebut adalah
keturunannya dan sekelompok orang dari dinasti Umayyah.
C. Perluasan Yang Dilakukan Dinasti
Umayyah Beserta Sisi Positif Dan
Negatifnya
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur
maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia,
Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.[13]
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib dilanjutkan
kembali oleh daulah ini. Di zaman Muawiyah Ibn Abu Sufyan Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah
timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan
sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan
serangan-serangan ke ibu kota
Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi
ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik Ibn Marwan. Dia
mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus
dan dapat berhasil menundukkan Balkh,
Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan
sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran
dilanjutkan di zaman al-Walid ibn
Abdul Malik. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih
sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah barat daya, benua Eropa,
yaitu pada tahun 711 M.
Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Thariq bin Ziyad, pemimpin
pasukan Islam, menyeberangi selat
yang memisahkan antara Maroko
(magrib) dengan benua Eropa,
dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq).
Tentara Spanyol dapat dikalahkan.
Dengan demikian, Spanyol
menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota
Spanyol, Kordova, dengan cepatnya dapat dikuasai.
Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol
yang baru setelah jatuhnya Kordova.
Pasukan Islam memperoleh
kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang
sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar ibn Abdul-Aziz,
serangan dilakukan ke Prancis
melalui pegunungan Piranee.
Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman
ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang
Tours. Namun, dalam
peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya
mundur kembali ke Spanyol.
Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut
Tengah (mediterania) juga jatuh ke
tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.[14]
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa
dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan
tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya
di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan
mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai
berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis
dibidangnya. Abdul-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang
dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan
tulisan Arab. [15]
Khalifah Abdul-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan
administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi
pemerintahan Islam.[16]
Keberhasilan Khalifah Abdul-Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid ibn Abd al-Malik
(705-715 M) seorang
yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun
panti-panti untuk orang cacat.[17] Semua
personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara
secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu
daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan
masjid-masjid yang megah.
Pada masa Umar ibn Abdul Aziz, sekolah kedokteran yang pada awalnya
berada di Alexandria
dipindahkan ke Antokia.[18] Di
bawah pemerintahannya karya Yunani banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa
arab. Pada masa ini pula ilmu tafsir mulai berkembang dengan pesat. Ilmu tafsir
memiliki letak yang strategis, disamping karena faktor luasnya kawasan Islam ke
beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra Arab,
juga karena banyaknya yang masuk Islam. Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa
Al Quran dan makna Al Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu.
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720
M, pernah mengirim surat kepada Abu Bakar ibn Amir bin Ham dan kepada ulama
yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadits, namun hingga akhir
pemerintahannya hal itu tidak terlaksana.[19]
Sungguhpun demikian pemerintahan Umar ibn Aziz telah melahirkan metode
pendidikan alternative, yakni para ulama mencari hadist ke berbagai tempat dan
orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal metode Rihlah. Pada
masa inilah, kitab tentang ilmu hadist sudah mulai dikarang oleh para ulama
muslim. Beberapa ulama hadist yang terkenal pada masa itu, antara lain : Abu
Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibnu
Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’i
Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Sya’bi.
Dibidang fiqh secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu aliran ahli al-Ra’y dan aliran al hadist, kelompok aliran
pertama ini mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas,
sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini
tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al Quran dan hadits yang
menerangkannya.
Sisi positif dari perluasan wilayah ini adalah adanya dialektika
pengetahuan islam dengan pengetahuan lain, seperti ilmu-ilmu filsafat Yunani,
serta metode-metode illuminasi dari daerah Persia
serta daerah India.
Kesemuanya melebur menadi satu dan mewujud dalam khazanah pengetahuan yang mau
atau tidak mau mengakuinya bahwa, Islam menyelamatkan bentuk pengetahuan
tesebut untuk dibawa kepada generasi setelahnya.[20]
Sementara sisi negative dari perluasan tersebut adalah, terkonsentrasinya
kebijakan-kebijakan pemerintah yang hanya berorientasi pada perluasan daerah,
sebab mereka menemukan hal baru yang tidak terdapat pada peradaban di
daerahnya. Hal ini membuat beberapa perubahan mendasar dalam basic epistemology
Islam. Karena dialektika pengetahuan tidak selamanya akan berakhir dengan
tergabungnya unsure-unsur terbaik dari tesis dan anti tesis, namun dialektika
kadang menjadi sebuah bentuk pemaksaan ideology atau pengetahuan karena anti
tesis tidak mampu menjadi lawan dari tesisi itu sendiri.
D. Raja-Raja Yang Memerintah Dalam
Daulah Umayyah
1. Mu’awiyah I bin
Abi Sufyan (41-61H/661-680M)
2. Yazid bin
Mu’awiyah (61-64H/680-683M)
3. Mu’awiyah II
bin Yazid (64-65H/683-684M)
4. Marwan bin
Hakam (65-66H/684-685M)
5. Abdul Malik bin
Marwan (66-86H/685-705M)
6. Al-Walid bin
Abdul Malik (86-97H/705-715M)
7. Sulaiman bin
Abdul Malik (97-99H/715-717M)
8. Umar bin Abdul
Azis (99-102H/717-720M)
9. Yazid bin Abdul
Malik (102-106H/720-724M)
10. Hisyam bin
Abdul Malik (106-126H/724-743M)
11. Al-Walid II
bin Yazid (126-127H/743-744M)
12. Yazid III bin
Walid(127H/744M)
13. Ibrahim bin Malik (127H/744M)
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muawiyyah berasal dari bani Umayyah, sebuah bani yang memainkan
peran penting dalam suku Quraisy karena kecakapan mereka dalam bidang
perdagangan dan negosiasi politik. Berangkat dari lingkungan yang sudah
mempunyai dasar perpolitikan inilah Muawiyyah kemudian tumbuh menjadi calon
penguasa yang mahir dalam beberapa bidang. Muawiyyah sempat pula membuat Syam
sebagai kawasan terkaya selama pemerintahan khalifah Umar, hal ini karena ia
mampu mengoptimalkan sumberdaya yang ada di daerah tersebut.
Proses berdirinya kerajaan Umayyah tidak terlepas dari peran Utsman
yang diangkat menjadi khalifah Umar yang meninggal karena terbunuh, karena
Utsman juga berasal dari bani Umayyah, memiliki kecenderungan yang sama dengan
Muawiyyah, meski puncak dari perebutan kekuasaan tersebut adalah saat peristiwa
tahkim dalam perang shiffin. Kemudian baru secara hukum Muawiyyah menjadi
khalifah yang sah pasca Hasan ibn Ali menyerahkan kekuasaan kepadanya dengan
berbagai macam pertimbangan, salah satunya adalah menghindari perang saudara
yang terus menerus terjadi antara umat Islam.
Perluasan Bani Umayyah telah mencapai Eropa, Afrika utara, dan
sebagian wilayah Asia tengah, serta Asia
kecil. Perluasan tersebut membawa perubahan yang cukup signifikan pula dalam
khazanah pengetahuan umat Islam serta system pemerintahan yang ingin
dikembangkan oleh Bani Umayyah. Mereka kemudian mampu membuat mata uang
tersendiri, system administrasi kenegaraan yang lebih baik, dan tentunya adalah
pembenahan-pembenahan lain yang mampu membuat dinasti Umayyah memainkan
perannya di tingkatan internasional. Kelemahan dari perluasan tersebut adalah
tergerusnya bahasa dan budaya dari bangsa Arab karena kurang mampu bersaing
dengan budaya-budaya baru yang ditemukan semasa perluasan daerah kekuasaan.
Ada empat belas raja yang memimpin dalam dinasti Umayyah, kesemuanya
memiliki kelebihan dan kekurangan, walaupun begitu, terlepas dari salah dan
benar, sejarah masa lalu adalah proses terciptanya cermin untuk masa sekarang
supaya ke depan, peradaban ini menjadi lebih baik.
B. Saran
Dalam lingkungan akademik, penelitian terhadap sejarah (tidak hanya
sebatas pada sejarah Islam) merupakan sebuah kata kunci untuk dapat meraba
hubungan antara kenyataan masa sekarang serta harapan masa yang akan datang.
Dengan mengetahui sejarah masa lalu, seseorang mampu memahami kenapa
karakteristik sebuah Negara menjadi sangat berbeda dengan yang lainnya, ada
hubungan genealogis dan cultural territorial yang akan membantu memecahkan
beberapa masalah dalam ilmu-ilmu social.
Sehingga bisa ditebak kenapa bangsa-bangsa Arab meskipun mempunyai
ikatan emosional yang dalam, namun ternyata masih dapat dipecah belah oleh
pihak asing. Karena meski mereka sudah mengadopsi system modern, namun mereka
masih terikat system kesukuan, dan hanya berpikir pragmatis serta mengambil
mana yang lebih menguntungkan untuk kepentingan mereka sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Amin, Husayn, Seratus Tokoh Dalam Islam,
ed. Cucu Juanda , Bandung:
Rosda Karya, 2001.
A.
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam
I, pent. Mukhtar Yahya Jakarta:
Al Husna Dzikra, 2000.
-------------, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, pent. Mukhtar Yahya Jakarta: Al Husna Dzikra,
2000.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam
Jakarta:
Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994, vol. V
http//.www.wordpress.com.Tinjauan
Kritis Terhadap Fase-Fase Peradaban Islam.Sabtu 28 November 2009
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2002.
Yunus, Mahmud, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta:
PT. Hida Karya Agung, 1981.
[1] http//.www.wordpress.com.Tinjauan Kritis Terhadap Fase-Fase
Peradaban Islam.Sabtu 28 November 2009
[2] Bernard lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, pent.
Said jamhuri (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994) hal. 33.
[3] Informasi ini kurang begitu valid, mengingat keislaman Muawiyyah
tergolong baru, serta mendekati Nabi wafat. Sebagaimana telah diketahui, pasca
haji wada’ tidak turun lagi wahyu. Pendapat tentang Muawiyyah sebagai pencatat
wahyu bisa saja terjadi kalau ia mencari data tentang wahyu tersebut semenjak
masuk Islam. Dan ia sering bertanya terhadap para sahabat yang hafal Qur’an dan
mengetahui sebagian besar turunnya wahyu. Sehingga kemungkinan besar informasi
bila Muawiyyah adalah pencatat wahyu kalau ditelisk lebih jauh semakin
menunjukkan bila para kerabat dari Muawiyyah ingin menciptakan sebuah pandangan
yang lebih bersih tentang pribadi Muawiyyah.
[4] http//.www.wordpress.com
[5] Ungkapan ini seelanjutnya terkenal dengan nama rambut Muawiyyah,
lih. Ahmad Amin, Husayn, Seratus Tokoh Dalam Islam, ed. Cucu Juanda (Bandung: Rosda Karya,2001)
hal. 26.
[6] Revolusi dalam bidang militer ini merupakan ide-ide Muawiyyah
setelah mengetahui system administrasi serta bentuk kesetiaan pasukan Bizantium
yang hanya tertuju pada raja mereka. Akibat dari konsekuensi perubahan tadi
adalah, Negara menetapkan gaji yang tetap terhadap para pasukan, hal itu belum
termasuk rampasan perang, tanah liar, dan promosi-promosi penting lain. Tetapi
yang menarik dari revolusi militer ini adalah, semakin menguatnya kesetiaan
para pasukan hanya kepada Muawiyyah, karena mereka merasa mendapatkan manfaat
dari kepatuhan tersebut yang mungkin tidak diperoleh ketika masih terfokus pada
kesetiaan terhadap kabilah masing-masing.
[7] Keluarga Sarjun adalah pemeluk nasrani, secara turun temurun tuga
mengelola bait al –mal diserahkan kepada mereka. Muawiyyah menikahi Masyun,
seorang perempuan nasrani, dari perempuan ini kemudian lahirlah Yazid, yang
menjadi raja setelahnya. Lih, Ahmad Amin, Husayn…26.
[8] Pembuatan armada laut terjadi sekitar tahun 653 M. dan yang
mengangkatnya menjadi gubernur di Syam adalah khalifah Umar. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, pent.
Mukhtar Yahya (Jakarta:
Al Husna Dzikra, 200) hal. 48.
[9] Sebenarnya factor ini ada tiga, yang terakhir adalah sebuah
kenyataan bahwa Utsman lebih tua dari pada Ali, dengan pengalaman dan
kebijakannya pula, diharapkan Utsman mampu membuat perubahan besar dalam Negara
Islam. Hanya saja kemudian, 2 faktor ini lebih bernuansa politis dari pada
ideologis. Ini terjadi sebab terlihat jelas pertarungan kepentingan antara
elit-elit Islam yang terjadi semenjak Nabi Muhammada meninggal. Beruntung Abu
BAkar dan Umar mampu meredam konflik tersebut sehingga untuk beberapa waktu
konflik itu menipis.A. Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam I, pent. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna Dzikra, 200) hal. 273
[10] Maksudnya adalah, dari peristiwa tahkim ini muncul khawarij dan
syiah yang meskipun islam, tapi mereka mempunyai perspektif tersendiri tentang
apa itu sebenarnya Islam. Perbedaan cara pandang dalam memahami Islam ini
selanjutnya melahirkan perkembangan yang luar biasa dalam khazanah pengetahuan
islam.
[11] Kondisi ini dialami oleh gubernur Mesir Qais ibn Sa’ad yang
meskipun ia masih sangat loyal pada Ali, ia ternyata tidak dapat mengatasi tipu
daya Muawiyyah, karena Qais tidak dapat dibujuk oleh Muawiyyah untuk
meninggalkan Ali, namun ternyata Muawiyyah di luar Mesir telah membangun sebuah
isu politik bila Qais merupakan gubernur yang mengakui Muawiyyah sebagai
pemerintahan yang sah. Karena isu yang terbangun begitu kuat dan sampai pada
khalifah Ali, akhirnya Qais sendiri posisinya digantikan oleh Muhammad ibn abi
Bakar yang kurang idealis dan tidak memiliki sikap toleransi tinggi seperti
yang praktekkan oleh Qais. Akhirnya Muhammad ibn Abi Bakar meninggal karena
diserang oleh pasukan Muawiyyah yang secara sengaja menunggu saat yang tepat
untuk mengalahkan Mesir. Lih. A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam I….hal
306
[12] Ada tiga orang yang sebenarnya menjadi sasaran pembunuhan berencana
yang dilakukan oleh sekelompok golongan yang kecewa terhadap peristiwa tahkim
(khawarij), yaitu Ali ibn Abi Thalib, Muawiyyah ibn Abi Sufyan, dan Amr ibn
Ash. Ali ibn Abi Thalib berhasil mereka bunuh, sementara Muawiyyah hanya
mengalami luka, dan Amr ibn Ash terhindar dari pembunuhan. Peristiwa ini
membuat khawarij sebagai musuh bersama baik dari pihak Ali maupun Muawiyyah
karena langkah-langkah ekstrem mereka. Dan sewaktu Muawiyyah menjadi khalifah
yang tunggal, perburuan terhadap kelompok ini gencar dilakukan untuk
memberangus ajaran dan pengikutnya.
[13] Bernard Lewis…..89
[14] www.wordpress.com
[16] Ibid, 88
[17] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam (Jakarta:
Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994, vol. V) hlm.130
[18] Yunus, Mahmud….90
[19] www. Wordpress.com
[20]Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam(Jakarta: Rajawali Pers,2002) hal 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar