Minggu, 27 Mei 2012

Muawiyah Dan Dinasti Umayyah (Penaklukan Ke Barat Dan Timur)


Muawiyah Dan Dinasti Umayyah
(Penaklukan Ke Barat Dan Timur)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah panjang umat Islam, ada banyak nama tokoh-tokoh penting yang mampu membawa agama Islam pada kemajuan peradaban. Agama Islam menjadi sebuah gelombang peradaban hebat yang pada masa tersebut belum ada kekuatan lain yang mampu menghentikan semangat syiar dan perluasan wilayah yang tengah dilakukan oleh umat Islam.
Perluasan daerah tersebut sebenarnya telah dilakukan semenjak khalifah pertama (Abu Bakar) memegang tampuk kepemimpinan umat pasca dilakukannya jajak pendapat di antara para sahabat. Perluasan demi perluasan membawa beberapa hal yang pada satu sisi berdampak positif, seperti diterjemahkannya pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab, akulturasi bangsa Arab dengan Persia, dan lain sebagainya. Sementara sisi negatif dari perluasan tersebut, melemahnya kondisi internal umat Islam karena sebagian elit sibuk dengan urusannya sendiri karena dengan banyaknya daerah jajahan berarti banyak pajak yang masuk, militer terangsang untuk terus memburu jarahan, munculnya raja-raja kecil yang kadang kurang terkoordinasi dengan pemerintah pusat, serta ketimpangan social di daerah ibu kota.
Dinasti Umayyah, dengan Muawiyyah sebagai raja yang pertama, telah mampu mengorganisir seluruh kekuatan kultural jazirah Arab dalam satu komandonya, sebab ia berangkat dari salah satu bani dari suku Qurais yang memiliki integritas tinggi, baik dalam kaca mata Mekkah maupun Islam. Sebab pernah nabi bersabda untuk menganjurkan bila kepemimpinan sebaiknya dipegang oleh Qurais.
Hanya saja, keberangkatan Muawiyyah membangun dinastinya membutuhkan proses panjang yang berliku, penuh intrik, konspirasi, dan ancaman dari lawan-lawannya. Walau demikian, Muawiyyah mampu membuktikan pada semuanya bila dirinya merupakan salah satu politisi unggul dalam dunia Islam dan tokoh penting yang berhasil membawa Islam pada kejayaan. Maka makalah ini berusaha melacak jejak-jejak Muawiyyah beserta perluasan yang pernah dilakukan oleh raja-raja dari dinasti Umayyah.

B. Rumusan Masalah

Yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini berdasar dari pemaparan dalam latar belakang adalah:
  1. Siapakah Muawiyyah tersebut?
  2. Bagaimana sejarah kemunculan dinasti Umayyah?
  3. Perluasan yang pernah dilakukan Umayyah meliputi daerah mana saja?
  4. Raja-raja dalam dinasti Umayyah yang berjasa besar adalah?

C. Tujuan Pembahasan

  1. Mengetahui  biografi muawiyyah, pendiri imperium Umayyah.
  2. Mengetahui sejarah berdirinya dinasti Umayyah.
  3. Mengetahui sejauh mana perluasan dari dinasti Umayyah beserta sisi positif dan negatifnya.
  4. Mengetahui raja-raja dari dinasti Umayyah yang memegang peran penting dalam masa pemerintahannya.


BAB II
PEMBAHASAN



A. Muawiyyah ibn Abu Sufyan ibn Harb

Muawiyyah lahir di Makkah pada 597 M dari pasangan Abu Sufyan bin Harb dari bani Umayyah dan Hindun binti Utbah yang juga keturunan bani Umayyah.[1] Muawiyyah tidak terhitung sebagai kelompok pengikut pertama Nabi Muhammad. Ia masuk Islam setelah penaklukan Makkah(fathul Makkah) pada 623 M.[2] Kala itu usianya sekitar 25 tahun, ia masuk Islam bersama dengan ayahnya Abu Sufyan, yang awalnya menjadi mata-mata warga Makkah dan menentang Nabi. Setelah dewasa, Muawiyyah tumbuh sebagai sosok yang berbadan tinggi besar dan gagah.
Di masa Rasulullah masih hidup, Muawiyyah dikabarkan pernah menjadi salah seorang pencatat wahyu.[3] Sepeninggal Rasulullah, ia dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai Gubernur Syam. Posisi itu terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan Sayyidina Ali. Namun, sebagai gubernur, ada satu cacat yang mewarnai pribadi Muawiyyah: senang bermewah-mewah.


Kabar tentang gaya hidup Muawiyyah itu sampai ke telinga Khalifah Umar yang terkenal keras dan amat sederhana. Maka pada suatu ketika, Khalifah Umar pun singgah ke Syam untuk membuktikannya. Begitu menyaksikan sendiri cara hidup Muawiyyah, Khalifah Umar pun menegurnya dengan cukup keras.
Teguran itu dijawab Muawiyyah dengan alasan yang masuk akal. Menurut dia, kini ia tengah berada di kawasan yang penuh dengan mata-mata musuh Islam. Karena itu, ia merasa harus menunjukkan kemuliaan penguasa Islam yang berarti juga kemuliaan Islam dan seluruh muslim. Dengan begitu, musuh-musuh Islam akan gentar. Muawiyyah juga memberi catatan, bila Khalifah menginginkan, ia akan menghentikan gaya hidup seperti itu.
Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar tidak melarang dan tidak pula menganjurkan Muawiyyah melanjutkan caranya itu. Umar hanya mengingatkan risikonya harus ditanggung sendiri. Bila niat itu benar, itu adalah pendapat Muawiyyah sendiri. Tapi, jika itu batil, cara itu merupakan tipu daya Muawiyyah sendiri. “Aku tidak menyuruhmu dan tidak pula melarangmu,” ujar Umar waktu itu.[4]

Ada sebuah ungkapan yang dikenal luas dari pribadi Muawiyyah di kalangan Arab, bahkan sampai sekarang, yang berbunyi:

Aku tidak akan menggunakan pedangku selama cambukku sudah cukup. Aku tidak akan menggunakan cambukku selama lidahku masih bisa mengatasi. Jika ada rambut yang membentang antara diriku dan orang yang menentang diriku, maka rambut itu tidak akan pernah putus selamanya. Jika mereka mengulurnya, aku akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka aku akan mengulurnya. [5]

Hal tersebut memang mengisyaratkan tentang kepribadian Muawiyyah yang terkenal pandai dalam bernegosiasi. Dengan jalan negosiasi (perang adalah bentuk negosiasi terakhir ketika upaya perundingan tidak tercapai. Lihat bagaimana suku-suku kuno atau Negara-negara modern melakukan upaya diplomasi lebih dahulu dalam kerangka membangun negosiasi, ketika upaya diplomasi gagal, maka ada yang memakai jalan perang untuk membuktikan superioritasnya) pula, Muawiyyah membangun daulah yang mampu membuat Islam sebagai kekuatan baru, ketika Persia dan Bizantium mulai kehilangan pijakan.

Muawiyyah juga membuat perubahan mendasar dalam angkatan perang yang dimilikinya. Muawiyyah mencoba membuat kesetiaan para angkatan perangnya tidak hanya tertuju pada kabilah (bisa diartikan marga) atau suku, namun kepada pemerintah yang telah dibentuknya.[6] Sehingga dengan demikian ia mendapat legitimasi dari seluruh pasukannya yang tidak terdiri dari satu kabilah atau satu suku saja. Karena kepandaian negosiasi serta mampu mempertemukan sekian suku yang ada di jazirah Arab tersebut, akhirnya kebesaran nama Muawiyyah meemukan relevansinya.
Selain itu pula, terhadap umat beragama lain, Muawiyyah juga menjaga toleransi demi persatuan yang tengah ia bangun. Tidak jarang ada pegawai non muslim yang menempati posisi strategis dari pemerintahannya, ia sendiri menikahi salah satu dari perempuan nasrani.[7] Sehingga hubungan interaksi umat islam dengan yang lainnya, pada kala tersebut bisa dikatakan lumayan baik.

B. Berdirinya Kerajaan Bani Umayyah

Sejarah yang membuat Muawiyyah membentuk kerajaan Umayyah tergolong menarik untuk disimak secara lebih lanjut. Prosesnya dimulai ketika dirinya ditunjuk untuk menjadi gubernur di Syam. Ia mampu membuat daerah tersebut menjadi daerah paling kaya di antara seluruh daerah di kekuasaan Islam. Ia menjadi gubernur karena jasa-jasanya yang fenomenal, seperti keberhasilannya mematahkan serangan Romawi dan mengepung Konstantinopel, serta membuat armada laut yang membuat gerakan pasukan muslim semakin luas.[8]  Sewaktu menjabat di Syam, Muawiyyah memang terbilang sebagai gubernur yang cakap dalam mengembangkan potensi yang ada di daerahnya, selain itu ia juga ingin membuat cerminan atas Negara muslim kepada lawan-lawan Islam kalau islam adalah sebuah Negara yang kaya dan tangguh.
Peristiwa yang menjadi pemicu dari keberanian Muawiyyah untuk membuat imperium sendiri adalah ketika khalifah usman meninggal terbunuh dalam sebuah konspirasi politik yang rumit. Khalifah Utsman bagi sebagian besar umat Islam kala itu dinilai terlalu nepotis. Hanya mengandalkan kerabat dan kenalan yang dinilai seide untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan yang ia pimpin.
Utsman dapat menjadi khalifah melewati pertimbangan yang cukup rumit. Ada dua kelompok (bani) dalam Islam yang disegani secara hirarkhis dalam masa itu, yaitu bani Umayyah dan bani hasyim. Keduanya juga memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh bani-bani lain, bani Umayyah terkenal ulung dalam masalah perniagaan (kekayaan) serta politik. Sedangkan bani Hasyim lebih pada kecenderungan religius (bani Hasyim pada beberapa periode menjadi juru kunci dari Ka’bah) dan tingkat intelektual mereka.
Pemilihan Utsman menjadi khalifah ada dua hal yang melandasinya, pertama adalah, kemungkinan menarik kembali jabatan dari bani Umayyah lebih bisa dimungkinkan dari pada bani Hasyim. Karena bani hasyim telah memiliki basic hegemoni yang kuat di kalangan umat Islam. Kedua, para elit islam ingin metode baru (system pemerintahan), karena menganggap bahwa Umar terlalu tegas, keras dan mengedepankan disiplin. Berbeda dengan Utsman yang cenderung untuk mengambil upaya diplomasi dan kurang begitu mampu untuk memaksakan keputusan yang dibuatnya sendiri.[9]
Dampak dari naiknya Utsman menjadi khalifah juga cukup besar, tampilnya bani Umayyah menjadi kerajaan bayangan dari Negara Islam yang dipimpin oleh Utsman, sehingga sangat masuk akal kalau Muawiyyah menjadi marah atas terbunuhnya utsman. Karena posisi bani Umayyah sudah cukup kuat secara politis, dengan berani Muawiyyah menyatakan tidak akan mengakui pemerintahan Ali sebelum pembunuh Utsman ditangkap. Pembangkangan Muawiyyah ini menjadi jalan dari perang Shiffin yang kemudian melahirkan peristiwa tahkim.
Harus dipahami betul bahwa bani Umayyah memiliki naluri politik dan strategi yang handal, maka tidak mengherankan kalau pemenang dari konflik antara Ali dan Muawiyyah adalah Muawiyyah, meski secara taktik militer muawiyyah tertinggal jauh dari Ali. Maka kemudian pasca tahkim ini muncul kelompok-kelompok dalam Islam yang menjadikan Islam sebuah agama sekaligus identitas kelompok mereka.[10]

Tahkim menjadi titik awal kelemahan pihak Ali dan kebangkitan Muawiyyah dalam memperkokoh bangunan imperium yang hendak disusunnya. Karena setelah peristiwa tersebut, pihak Ali terpecah menjadi dua bagian, sementara di kelompok Muawiyyah menjadi semakin yakin akan keberhasilan mereka. Padahal peristiwa tahkim adalah sebuah siasat untuk melarikan diri dari peperangan dengan memakai taktik politik.
Karena ada dua bentuk pemerintahan dalam sebuah Negara Islam, yaitu Ali dan Muawiyyah, masyarakat menjadi terkena imbasnya, beberapa daerah yang masih loyal terhadap Ali dan secara territorial lebih dekat kepada Muawiyyah menjadi lahan konflik.[11]
Setelah ali meninggal karena terbunuh, puteranya Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyyah, hal mana untuk mengurangi perpecahan yang terjadi, serta membuat satu pemimpin yang sah dan untuk diikuti oleh seluruh umat.[12] Langkah Hasan ibn Ali ini merupakan langkah diplomatis yang memang sudah seharusnya ia melakukan hal tersebut. Karena Ali sebagai symbol khalifah yang sah sudah meninggal, dan Muawiyyah telah menyatakan kekuasaannya. Perang yang sudah berlangsung antara umat islam sendiri mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Karenanya, langkah Hasan ibn Ali bukan semata-mata tanpa pertimbangan yang nyata.
Pada tahun 41 H/661 M, Muawiyyah memindahkan pusat pemerintahannya ke Damaskus, yang melatarbelakangi kepindahannya adalah, bahwa Damaskus merupakan daerah yang subur dan penghasil bahan pangan. Kondisi ini akan mendukung dalam upayanya melakukan persiapan menaklukkan daerah luar Arab. Selain itu pula, Muawiyyah ingin sedikit meredakan pertentangan di sekitar wilayah Arab bagian tengah, lebih tepatnya pertentangan dirinya dengan kelompok khawarij maupun sisa-sisa pengikut Ali. Namun yang lebih kuat adalah, bahwa dahulu semenjak ia berhasil membuat angkatan laut, ada ambisi terpendam untuk menguasai daerah-daerah luar Arab yang selama periode ke belakang masih dipegang oleh kekuasan Persia atau Byzantium. Di luar jazirah Arab, masih terdapat hal-hal baru yang tidak terdapat di jazirah Arab, itulah salah satu alasan utama kepindahan Muawiyyah ke Damaskus.
Sebelum meninggal dalam usianya yang ke-83, Muawiyyah telah menunjuk anaknya Yazid untuk mengantikannya sebagai Raja, dengan demikian nyatalah bahwa konsep Negara modern yang coba dibangun oleh Nabi Muhammad dan dikembangkan oleh para sahabatnya harus hancur di tangan Muawiyyah, sebab konsep tadi untuk peradaban manusia pada masa tersebut terlalu canggih dan kurang mengenal kultur yang ada. Konsep monarchi hereditis ini selain dipakai Muawiyyah untuk menguatkan posisi dirinya dan bani Umayyah juga berguna untuk membuat umat Islam hanya berada pada satu komando, dan tentunya pemegang komando tersebut adalah keturunannya dan sekelompok orang dari dinasti Umayyah.


C. Perluasan Yang Dilakukan Dinasti Umayyah Beserta Sisi Positif  Dan Negatifnya

Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah  sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.[13]

Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib dilanjutkan kembali oleh daulah ini. Di zaman Muawiyah Ibn Abu Sufyan Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik Ibn Marwan. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman al-Walid ibn Abdul Malik. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Thariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar ibn Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.[14]

Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. [15]
Khalifah Abdul-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.[16] Keberhasilan Khalifah Abdul-Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid ibn Abd al-Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat.[17] Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.


Pada masa Umar ibn Abdul Aziz, sekolah kedokteran yang pada awalnya berada di Alexandria dipindahkan ke Antokia.[18] Di bawah pemerintahannya karya Yunani banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Pada masa ini pula ilmu tafsir  mulai berkembang dengan pesat. Ilmu tafsir memiliki letak yang strategis, disamping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam. Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa Al Quran dan makna Al Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu.
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M, pernah mengirim surat kepada Abu Bakar ibn Amir bin Ham dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadits, namun hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak terlaksana.[19] Sungguhpun demikian pemerintahan Umar ibn Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternative, yakni para ulama mencari hadist ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal metode Rihlah. Pada masa inilah, kitab tentang ilmu hadist sudah mulai dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadist yang terkenal pada masa itu, antara lain : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’i Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Sya’bi.
Dibidang fiqh secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli al-Ra’y dan aliran al hadist, kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al Quran dan hadits yang menerangkannya.
Sisi positif dari perluasan wilayah ini adalah adanya dialektika pengetahuan islam dengan pengetahuan lain, seperti ilmu-ilmu filsafat Yunani, serta metode-metode illuminasi dari daerah Persia serta daerah India. Kesemuanya melebur menadi satu dan mewujud dalam khazanah pengetahuan yang mau atau tidak mau mengakuinya bahwa, Islam menyelamatkan bentuk pengetahuan tesebut untuk dibawa kepada generasi setelahnya.[20]
Sementara sisi negative dari perluasan tersebut adalah, terkonsentrasinya kebijakan-kebijakan pemerintah yang hanya berorientasi pada perluasan daerah, sebab mereka menemukan hal baru yang tidak terdapat pada peradaban di daerahnya. Hal ini membuat beberapa perubahan mendasar dalam basic epistemology Islam. Karena dialektika pengetahuan tidak selamanya akan berakhir dengan tergabungnya unsure-unsur terbaik dari tesis dan anti tesis, namun dialektika kadang menjadi sebuah bentuk pemaksaan ideology atau pengetahuan karena anti tesis tidak mampu menjadi lawan dari tesisi itu sendiri.

D. Raja-Raja Yang Memerintah Dalam Daulah Umayyah

1. Mu’awiyah I bin Abi Sufyan (41-61H/661-680M)
2. Yazid bin Mu’awiyah (61-64H/680-683M)
3. Mu’awiyah II bin Yazid (64-65H/683-684M)
4. Marwan bin Hakam (65-66H/684-685M)
5. Abdul Malik bin Marwan (66-86H/685-705M)
6. Al-Walid bin Abdul Malik (86-97H/705-715M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (97-99H/715-717M)
8. Umar bin Abdul Azis (99-102H/717-720M)
9. Yazid bin Abdul Malik (102-106H/720-724M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (106-126H/724-743M)
11. Al-Walid II bin Yazid (126-127H/743-744M)
12. Yazid III bin Walid(127H/744M)
13. Ibrahim bin Malik (127H/744M)















BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Muawiyyah berasal dari bani Umayyah, sebuah bani yang memainkan peran penting dalam suku Quraisy karena kecakapan mereka dalam bidang perdagangan dan negosiasi politik. Berangkat dari lingkungan yang sudah mempunyai dasar perpolitikan inilah Muawiyyah kemudian tumbuh menjadi calon penguasa yang mahir dalam beberapa bidang. Muawiyyah sempat pula membuat Syam sebagai kawasan terkaya selama pemerintahan khalifah Umar, hal ini karena ia mampu mengoptimalkan sumberdaya yang ada di daerah tersebut.
Proses berdirinya kerajaan Umayyah tidak terlepas dari peran Utsman yang diangkat menjadi khalifah Umar yang meninggal karena terbunuh, karena Utsman juga berasal dari bani Umayyah, memiliki kecenderungan yang sama dengan Muawiyyah, meski puncak dari perebutan kekuasaan tersebut adalah saat peristiwa tahkim dalam perang shiffin. Kemudian baru secara hukum Muawiyyah menjadi khalifah yang sah pasca Hasan ibn Ali menyerahkan kekuasaan kepadanya dengan berbagai macam pertimbangan, salah satunya adalah menghindari perang saudara yang terus menerus terjadi antara umat Islam.
Perluasan Bani Umayyah telah mencapai Eropa, Afrika utara, dan sebagian wilayah Asia tengah, serta Asia kecil. Perluasan tersebut membawa perubahan yang cukup signifikan pula dalam khazanah pengetahuan umat Islam serta system pemerintahan yang ingin dikembangkan oleh Bani Umayyah. Mereka kemudian mampu membuat mata uang tersendiri, system administrasi kenegaraan yang lebih baik, dan tentunya adalah pembenahan-pembenahan lain yang mampu membuat dinasti Umayyah memainkan perannya di tingkatan internasional. Kelemahan dari perluasan tersebut adalah tergerusnya bahasa dan budaya dari bangsa Arab karena kurang mampu bersaing dengan budaya-budaya baru yang ditemukan semasa perluasan daerah kekuasaan.
Ada empat belas raja yang memimpin dalam dinasti Umayyah, kesemuanya memiliki kelebihan dan kekurangan, walaupun begitu, terlepas dari salah dan benar, sejarah masa lalu adalah proses terciptanya cermin untuk masa sekarang supaya ke depan, peradaban ini menjadi lebih baik.

B. Saran
Dalam lingkungan akademik, penelitian terhadap sejarah (tidak hanya sebatas pada sejarah Islam) merupakan sebuah kata kunci untuk dapat meraba hubungan antara kenyataan masa sekarang serta harapan masa yang akan datang. Dengan mengetahui sejarah masa lalu, seseorang mampu memahami kenapa karakteristik sebuah Negara menjadi sangat berbeda dengan yang lainnya, ada hubungan genealogis dan cultural territorial yang akan membantu memecahkan beberapa masalah dalam ilmu-ilmu social.
Sehingga bisa ditebak kenapa bangsa-bangsa Arab meskipun mempunyai ikatan emosional yang dalam, namun ternyata masih dapat dipecah belah oleh pihak asing. Karena meski mereka sudah mengadopsi system modern, namun mereka masih terikat system kesukuan, dan hanya berpikir pragmatis serta mengambil mana yang lebih menguntungkan untuk kepentingan mereka sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin, Husayn, Seratus Tokoh Dalam Islam, ed. Cucu Juanda , Bandung: Rosda   Karya, 2001.
A. Syalabi,  Sejarah dan Kebudayaan Islam I, pent. Mukhtar Yahya Jakarta: Al Husna Dzikra, 2000.
-------------,  Sejarah dan Kebudayaan Islam II, pent. Mukhtar Yahya Jakarta: Al Husna Dzikra, 2000.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994, vol. V
http//.www.wordpress.com.Tinjauan Kritis Terhadap Fase-Fase Peradaban Islam.Sabtu 28 November 2009
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2002.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1981.


[1] http//.www.wordpress.com.Tinjauan Kritis Terhadap Fase-Fase Peradaban Islam.Sabtu 28 November 2009
[2] Bernard lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, pent. Said jamhuri (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994) hal. 33.
[3] Informasi ini kurang begitu valid, mengingat keislaman Muawiyyah tergolong baru, serta mendekati Nabi wafat. Sebagaimana telah diketahui, pasca haji wada’ tidak turun lagi wahyu. Pendapat tentang Muawiyyah sebagai pencatat wahyu bisa saja terjadi kalau ia mencari data tentang wahyu tersebut semenjak masuk Islam. Dan ia sering bertanya terhadap para sahabat yang hafal Qur’an dan mengetahui sebagian besar turunnya wahyu. Sehingga kemungkinan besar informasi bila Muawiyyah adalah pencatat wahyu kalau ditelisk lebih jauh semakin menunjukkan bila para kerabat dari Muawiyyah ingin menciptakan sebuah pandangan yang lebih bersih tentang pribadi Muawiyyah.
[4] http//.www.wordpress.com
[5] Ungkapan ini seelanjutnya terkenal dengan nama rambut Muawiyyah, lih. Ahmad Amin, Husayn, Seratus Tokoh Dalam Islam, ed. Cucu Juanda (Bandung: Rosda Karya,2001) hal. 26.
[6] Revolusi dalam bidang militer ini merupakan ide-ide Muawiyyah setelah mengetahui system administrasi serta bentuk kesetiaan pasukan Bizantium yang hanya tertuju pada raja mereka. Akibat dari konsekuensi perubahan tadi adalah, Negara menetapkan gaji yang tetap terhadap para pasukan, hal itu belum termasuk rampasan perang, tanah liar, dan promosi-promosi penting lain. Tetapi yang menarik dari revolusi militer ini adalah, semakin menguatnya kesetiaan para pasukan hanya kepada Muawiyyah, karena mereka merasa mendapatkan manfaat dari kepatuhan tersebut yang mungkin tidak diperoleh ketika masih terfokus pada kesetiaan terhadap kabilah masing-masing.
[7] Keluarga Sarjun adalah pemeluk nasrani, secara turun temurun tuga mengelola bait al –mal diserahkan kepada mereka. Muawiyyah menikahi Masyun, seorang perempuan nasrani, dari perempuan ini kemudian lahirlah Yazid, yang menjadi raja setelahnya. Lih, Ahmad Amin, Husayn…26.
[8] Pembuatan armada laut terjadi sekitar tahun 653 M. dan yang mengangkatnya menjadi gubernur di Syam adalah khalifah Umar. A. Syalabi,  Sejarah dan Kebudayaan Islam II, pent. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna Dzikra, 200) hal. 48.
[9] Sebenarnya factor ini ada tiga, yang terakhir adalah sebuah kenyataan bahwa Utsman lebih tua dari pada Ali, dengan pengalaman dan kebijakannya pula, diharapkan Utsman mampu membuat perubahan besar dalam Negara Islam. Hanya saja kemudian, 2 faktor ini lebih bernuansa politis dari pada ideologis. Ini terjadi sebab terlihat jelas pertarungan kepentingan antara elit-elit Islam yang terjadi semenjak Nabi Muhammada meninggal. Beruntung Abu BAkar dan Umar mampu meredam konflik tersebut sehingga untuk beberapa waktu konflik itu menipis.A. Syalabi,  Sejarah dan Kebudayaan Islam I, pent. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna Dzikra, 200) hal. 273
[10] Maksudnya adalah, dari peristiwa tahkim ini muncul khawarij dan syiah yang meskipun islam, tapi mereka mempunyai perspektif tersendiri tentang apa itu sebenarnya Islam. Perbedaan cara pandang dalam memahami Islam ini selanjutnya melahirkan perkembangan yang luar biasa dalam khazanah pengetahuan islam.
[11] Kondisi ini dialami oleh gubernur Mesir Qais ibn Sa’ad yang meskipun ia masih sangat loyal pada Ali, ia ternyata tidak dapat mengatasi tipu daya Muawiyyah, karena Qais tidak dapat dibujuk oleh Muawiyyah untuk meninggalkan Ali, namun ternyata Muawiyyah di luar Mesir telah membangun sebuah isu politik bila Qais merupakan gubernur yang mengakui Muawiyyah sebagai pemerintahan yang sah. Karena isu yang terbangun begitu kuat dan sampai pada khalifah Ali, akhirnya Qais sendiri posisinya digantikan oleh Muhammad ibn abi Bakar yang kurang idealis dan tidak memiliki sikap toleransi tinggi seperti yang praktekkan oleh Qais. Akhirnya Muhammad ibn Abi Bakar meninggal karena diserang oleh pasukan Muawiyyah yang secara sengaja menunggu saat yang tepat untuk mengalahkan Mesir. Lih. A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam I….hal 306
[12] Ada tiga orang yang sebenarnya menjadi sasaran pembunuhan berencana yang dilakukan oleh sekelompok golongan yang kecewa terhadap peristiwa tahkim (khawarij), yaitu Ali ibn Abi Thalib, Muawiyyah ibn Abi Sufyan, dan Amr ibn Ash. Ali ibn Abi Thalib berhasil mereka bunuh, sementara Muawiyyah hanya mengalami luka, dan Amr ibn Ash terhindar dari pembunuhan. Peristiwa ini membuat khawarij sebagai musuh bersama baik dari pihak Ali maupun Muawiyyah karena langkah-langkah ekstrem mereka. Dan sewaktu Muawiyyah menjadi khalifah yang tunggal, perburuan terhadap kelompok ini gencar dilakukan untuk memberangus ajaran dan pengikutnya.
[13] Bernard Lewis…..89
[14] www.wordpress.com
[15] Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1981), 87
[16] Ibid, 88
[17] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994, vol. V) hlm.130

[18] Yunus, Mahmud….90
[19] www. Wordpress.com
[20]Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam(Jakarta: Rajawali Pers,2002) hal 65

Tidak ada komentar: