BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran filsafat Islam
terpengaruh oleh filsafat Yunani para filosof Islam banyak mengambil pikiran
Aristoteles dan tertarik dengan pikiran Plotinus, sehingga banyak teori yang
diambil. Memang demikianlah keadaan orang yang datang kemudian terpengaruh oleh
orang-orang sebelumnya dan berguna kepada mereka. Akan tetapi berguru tidak
berarti mengekor dan memngutip, sehingga harus dikatakan bahwa filsafat Islam
kutipan dari Aristoteles atau neo-Platonisme. Dalam hal ini ialah pemikiran Ibnu
Sina dan Al-Farabi tentang filsafat al-Farid dan Al-Nafs. Walaupun mereka
mencangkok pemikiran para filosof Yunani tapi dalam memahami substansinya
berbeda. Dimana mereka Ibnu farabi dan Ibnu Sina lebih Islami dan sesuai dengan
Al-Qur'an.
Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini saya akan
membatasinya pada kajian tertentu agar kita mempunyai cermin yang representatif
dalam mengambil sebuah kebenaran dan pelajaran dari sejarah pemikiran Islam.
B. Rumusan
Masalah
Dalam pembahasan ini kita akan mengupas beberapa
pemikiran filsafat dari dua tokoh pionir yaitu Al-Farabi dan Ibnu Sina, yang
berkenaan dengan:
1.
Bagaimanakah pemikiran Al-Farabi tentang Filsafat
Al-Faidl (emanasi)?
2.
Bagaimanakah pemikiran Al-Farabi tentang Filsafat
Al-Nafs (jiwa)?
3.
Bagaimanakah pemikiran Ibnu Sina tentang filsafat
Al-Faidl (emanasi)?
4.
Bagaimanakah pemikiran Ibnu SIna tentang Filsafat
Al-Nafs (jiwa)?
C. Tujuan
Pembahasan
Dari beberapa permasalahan yang terkemukakan, kita berharap mampu
menemukan jawaban untuk:
1.
Untuk mengetahui pemikiran Al-Farabi tentang Filsafat
Al-Faidl (emanasi).
2.
Untuk mengetahui pemikiran Al-Farabi tentang Filsafat
Al-Nafs (jiwa).
3.
Untuk mengetahui pemikiran Ibnu Sina tentang filsafat
Al-Faidl (emanasi).
4.
Untuk mengetahui pemikiran Ibnu SIna tentang Filsafat
Al-Nafs (jiwa).
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Riwayat
Hidup Al-Farabi
Al-Farabi, nama lengkapnya adalah Abu Nashir Muhammad
ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalayh, yang biasa di singkat menjadi Al-Farabi.
Ia dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Turkistan pada tahun 275 H/870 M. Sejak
kecil, Al-Farabi sudah menguasai beberapa bahasa antara lain bahasa Iran,
Turkestan dan Kurdistan. Setelah besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya menuju
Baghdad. Di Bagdad ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar Al-Saraj
dan belajar logika dan filsafat kepada seorang Kristen yang bernama Abu Bisyr
Mattius Ibn Yunus. Sesudah itu ia pindah ke Harran salah satu Kebudayaan Yunani
di Asia kecil untuk berguru kepada Yuhanna bin Jilan. Tetapi tidak lama
kemudian ia meninggalkan kota itu dan kembali ke Baghdad untuk mendalami
filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantiq (logika). Di Baghdad ia berdiam
selama 30 tahun. Selama waktu itu, ia memakai waktunya untuk mengarang,
memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Pada tahun 330 H (941 M) ia
pindah ke Damsik dan disini ia mendapat kedudukan yang baik dari Saipudautah,
Khalifah Dinasti Hamdan. Dan ia menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun
337 H (950 M) pada usia 80 tahun.
B. Al
– Faidl (emanasi)
Teori ini membahas tentang keluarnya sesuatu wujud
yang mumkin (alam Makhluk) dari zat, yang mesti adanya, tuhan zat yang wajibul
wujud. Teori ini sebenarnya terdapat pula dalam NeoPlatonisme. Perbedaan antara
keduanya yaitu terletak uraian Al-Farabi yang ilmiah. Menurut teori emanasi Al-Farabi
di sebutkan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali.[1] Karena
itu yang keluar dari pada Nya satu wujud saja, sebab emanasi itu timbul karena
pengetahuan (ilmu) tuhan terhadap Zat-Nya yang satu. Kalau apa yang keluar dari
Zat Tuhan itu berbilang, maka berarti Zat Tuhan itu berbilang pula. Dasar
adanya emanasi tersebut ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal
terdapat kakuatan emanasi dan penciptaan, Dalam alam manusia sendiri, apabila
kita menuturkan, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakn
terlaksananya atau wujudnya.[2]
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan
mutazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa tuhan yang
mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki di samping
tuhan, itu mengandung arti bahwa ada banyak wujud, san dengan demikian merusak
tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat
Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada
hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau
dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud
adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang
membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud
bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan.Karena itu ia pada
hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud
yang punya bayangan.
Kalau bagi kaum mutazialah dalam memurnikan tauhid
pergi ke peniadaan tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud
Allah Swt. Maka kaum filosof islam yang di pelopori ibnu al-farabi berusaha
meniadakan adanya arti banyak dalam diri
tuhan, kalau tuhan ini berhubungan
langsung dengan alam yang tersusun dari banyak pemikiran yang banyak ini membuat tauhid ini
tidak murni lagi.
Menurut
al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud
Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur
(berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan
kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya
adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud
kekal dari segala yang ada.
Adapun wujud pertama, yang keluar dari Tuhan disebutu
akal pertama, yang mana mengandung dua segi.[3] Pertama,
segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyyah), yaitu wujud yang mukmin. Kedua
segi lain, yaitu wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan,
sebagai zat yang menjadikan. Jadi meskipun akal pertama itu satu (tunggal).
Namun pada dirinya terdapat bagian-bagian, yaitu adanya dua segi tersebut
menjadi objek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, maka dapatkah di
benarkan adanya bilangan pada alam sejak dari akal pertama.
Dari pemikiran akal pertama, dalam kedudukannya
sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang
mengetahui dirinya, maka keluarlah akal kedua. Dari pemikiran akal pertama, dalam kedudukannya sebagai
wujud yang mungkin dan mengetahui dirinya maka timbullah langit pertama dengan
jiwa langit tersebut. Jadi dari dua objek pengetahuan yaitu dirinya dan
wujudnya yang mungkin, keluarlah dua macam makhluk tersebut, yaitu hendaknya
benda langit dan jiwanya.
Dari akal kedua maka timbullah akal ketiga dan langit
kedua atau bintang-bintang tetap beserta jiwanya dengan cara yang sama seperti
yang terjadi pada akal pertama.
Dari akal ketiga keluarlah akal keempat dan planet
Saturnus (Zuhal), juga beserta jiwanya.
Dari akal keempat keluarlah akal kelima dan planet
Yupiter (al-Masy - tara), beserta jiwanya.
Dari akal kelima keluarlah akal keenam dan planet Mars
(Marilah), beserta jiwanya.
Dari akal keenam keluarlah akal ketujuh dan Matahari
(as-Syams), beserta jiwanya.
Dari akal ketujuh keluarlah akal kedelapan dan planet
Venus (az- Zuharah), beserta jiwanya.
Dari akal kedelapan keluarlah akal kesembilan dan
planet Mercurius (U’tarid), beserta jiwanya.
Dari akal kesembilan keluarlah akal kesepuluh bulan
(Qomar)
Dengan demikian maka dari satu akal keluarlah satu
akal pula dan satu planet beserta jiwanya. Dari akal kesepuluh sesuai dengan dua seginya yaitu wajib-al-wujud
karena Tuhan maka keluarlah manusia beserta jiwanya dan dari segi dirinya yang
merupakan wujudnya yang mungkin maka keluarlah unsur empat dengan perantaraan
benda-benda langit.[4]
Adapun keempat unsur itu ialah udara, api, air, tanah. Struktur emanasi saat
itu, yakni sembilan planet dan satu bumi, karenanya ia membutuhkan sepuluh
akal, setiap satu akal mengurusi satu planet termasuk bumi.
C.
Al – Nafs (jiwa)
Jiwa manusia beserta materinya asalnya memancar dari
akal kesepuluh. Jiwa adalah jauhar rohani sebagai from bagi jasad.
Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing
keduanya mempunyai subtansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa
binasa jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqoh, berasal
dari alam illahi sedangkan jasad berasal dari alam khaliq, berbentuk, berupa
berkadar, dan bergerak.[5] Jiwa
diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Bagi al-Farabi , jiwa manusia mempunyai daya – daya
sebagai berikut.
1.
Daya al-Muharrikat (gerak) daya ini mendorong
untuk makan, memelihara dan berkembang
2.
Daya al-Mudrikat (mengetahui) daya ini yang
mendorong untuk merasa dan berimajinasi
3.
Daya al-Nathiqat (berpikir) daya ini yang
mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingkatan, sebagai
berikut ini:
a.
Akal Potensial (al–Hayulany) ialah akal yang
baru mempunyai potensi berpikir dalam arti, melepaskan arti-arti atau berbentuk-bentuk
materinya.
b.
Akal Aktual (al–Aql bi al-fi’i) akal yang telah
dapat melepaskan arti – arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai
wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi
dalam bentuk aktual.
c.
Akal Mustafad (al-Aql al-Mustafad). Akal yang
telah dapat menangkap bentk semata-mata
yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan
komunikasi dengan akal kesepuluh.[6]
Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi
mengaitkan dengan filsafat negara utamanya. Bagi jiwa yang hidup pada negara
utama, yaitu jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah – perintah
Allah, maka jiwa ini, menurut Al-Farabi akan kembali ke alam nufus (alam
kejiwaan dan abadi dalam kebahagian). Jiwa yang hidup pada negara fasiqah,
yakni jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi tidak melaksanakan segala perintah
Allah, ia akan kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam
kesengsaraan. Sementara itu jiwa yang hidup pada negara jahiliyah, yakni jiwa
yang tidak kenal sama sekali dengan Allah dan tidak pula pernah melaksanakan
perintah Allah, ia akan lenyap bagaikan hewan.
D.
Riwayat Hidup Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali-Husain ibnu
‘Abdullah ibn Hasan ibnu ‘Ali ibnu Sina. Pemikiran Ibnu Sina tentang jiwa
bersumber pada pemikirannya tentang akal pertama. Ibnu Sina berpendapt bahwa
akal pertama mempunyai dua sifat: yaitu sifat wajib wujudnya sebagai pancaran
dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary
by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian
ia mempunyai tiga objek pemikiran. Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan
dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dari pemikiran tentang dirinya
sebagai mumkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa-jiwa
lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari akal kesepuluh.
Di barat populer dengan sebutan Avecina akibat terjadinya
metamorfose Yahudi-Spayol-Latin. Ibnu Sina sejak usia muda telah menguasai
beberapa ilmu seperti matematika, logika, fisika, kedokteran, astronomi, hukum
dan lain-lainnya. Ketika Ibnu Sina berusia 17 tahun dia telah memahami teori
kedokteran, karena kepintarannya ini, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter
praktisi. Ia juga pernah diangkat menjadi menteri oleh Sultan Syam Al-Dawlah
yang berkuasa di Hamdan.[7] Di
antara guru yang mendidiknya ialah Abu Abdullah Al-Natili dan Ismail Sang Zaid.
Ibnu Sina secara tidak langsung berguru kepada Al-Farabi. Ibnu Sina merupakan
pewaris filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan Al-Farabi. Dengan istilah lain, Ibn Sina
adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah di rintis
Al-Farabi, Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat sehingga
dapat dinilai bahwa filasafat di tangannya telah mencapai puncaknya, dan karena
prestasinya itu ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al Syikh
al-Ra’is.[8]
E.
Al – Faid (emanasi)
Ibnu Sina, sebagaimana juga Al-Farabi menemui
kesulitan dalam menjelaskan bagaimana
terjadinya yang banyak yang bersifat materi (alam) dari yang esa, jauh dari
arti banyak, jauh dari materi, maha sempurna, dan tidak berkehendak apapun
(Allah). Untuk memecahkan masalah ini, ia juga mengemukakan penciptaan secara
emanasi. Filsafat emanasi ini bukan hasil rencangan Ibnu Sina tetapi berasal dari
“Ramuan Platinus” yang mengatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari
Yang Esa. Kemudian prinsip Plotinus ini di Islamkan oleh Ibnu Sina Bahwa Allah
menciptakan alam secara emanasi. Walaupun prinsip Ibnu Sina dan Platinus sama,
namun hasil dan tujuan berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan. Yang esa Plotinus
sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Tuhan . pencipta yang Aktif ia
menciptakan Tuhan dalam materi dan sudah ada dalam pancaran.[9]
Proses terjadinya pancaran tersebut ialah ketika Tuhan Wujud sebagai
akal. Langsung memikirkan terhadap dzat-Nya, maka memancarlah akal pertama.
Dari akal pertama muncullah akal kedua. Jiwa pertama dan langit pertama. Demikianlah
seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak
mengahasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi,
roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok, air, udara,
api, dan tanah.[10]
Berlainan dengan Al-Farabi bagi Ibnu Sina akal pertama
mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan
sifat mumkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya.. Dengan
demikian Ibnu Sina membagi objek pemikiran akal-akal menjadi Tiga : Tuhan (wajib
al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal (wajib al-wujud li ghairihi)
sebagai pancaran dari Tuhan, dan dirinya akal – akal (mungkin al – wujud)
ditinjau dari hakikat dirinya. Untuk lebih je;asnya dapat dilihat tabel emanasi
Ibnu Sina di bawah ini.[11
(subjek)
Akal yang ke
|
Sifat
|
Tuhan sebagai wajib al – wujud menghasilkan
|
Dirinya sendiri sebagai wajib wujud Li Ghairihi
menghasilkan
|
Dirinya sendiri mungkin wujud lizathihi
|
keterangan
|
I
|
Wajib al wujud
|
Akal II
|
Jiwa I yang menggerakkan
|
Langit pertama
|
masing -masing jiwa
berfungsi sebagai penggeraksatu planet karena tidak bisa langsung
menggerakkan Matahari
Akal X tidak memancarkan
akal – akal berikutnya karena kekuatannya sudah lemah
|
II
|
Mumkin al wujud
|
Akal III
|
Jiwa II yang menggerakkan
|
Bintang - bintang
|
|
III
|
sda
|
Akal IV
|
Jiwa III yang menggerakkan
|
Saturnus
|
|
IV
|
Sda
|
Akal V
|
Jiwa IV yang menggerakkan
|
Yupiter
|
|
V
|
Sda
|
Akal VI
|
Jiwa V yang menggerakkan
|
Mars
|
|
VI
|
Sda
|
Akal VII
|
Jiwa VI yang menggerakkan
|
Matahari
|
|
VII
|
Sda
|
Akal VIII
|
Jiwa VII yang menggerakkan
|
Venus
|
|
VIII
|
Sda
|
Akal IX
|
Jiwa VIII yang menggerakkan
|
Merkuri
|
|
IX
|
Sda
|
Akal X
|
Jiwa IX yang menggerakkan
|
Bulan
|
|
X
|
sda
|
-
|
Jiwa X yang menggerakkan
|
Bumi, roh, materi pertama
yang menjadi dasar dari keempat unsur (udara, api , air, dan tanah
|
Emanasi diatas menghasilkan sepuluh akal dan sembilan
planet, sembilan akal, mengurusi sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi
bumi, berbeda dengan pendahulunya. Al-Farabi, bagi Ibnu Sina masing-masing
berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (imateri) tidak langsung
menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah para malaikat -malaikat
tertinggi dan akal kesepuluh adalah malaikat jibril yang mengatur bumi dan
isinya.
F.
Al – Nafs (jiwa)
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua
sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin
wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the
necessary being and possible in essence . Dengan demikian ia mempunyai tiga
obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai
mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari
pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari
pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit.
Kata jiwa dalam Al-Qur’an dan Hadist diistilahkan
dengan Al-Nafs atau Al-Ruh terekam dalam surat Shad: 71-72, al-Isra’: 85 dan al-Fajr:
27-30. jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di
bawah rembulan, memancar dari akal sepuluh. Adapun secara garis besarnya
pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa sebagai berikut.
1.
Fisika, membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan,
binatang dan manusia.[12]
a.
Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga jiwa yaitu: makan (Nutrition),
Tumbuh (growth), berkembang biak (reproduction)
b.
Jiwa binatang mempunyai
§
Gerak (locomotion)
§
Menangkap (perception) dengan dua bagian
:
-
Menangkap dari luar dengan panca indera
-
Menagkap dari dalam dengan indera – indera
dalam.
§
Indera bersama yang menerima segala apa yang di
tangkap oleh panca indera
§
Representasi yang menyimpan segala apa yang di
terima indera bersama.
§
Imaginasi yang dapat menyusun apa yang di simpan
dalam representasi
§
Estimasi yang dapat menangkap hal – hal abstrak
yang terlepas dari materi, umpamanya keharusan lari bagi kambing dari Anjing
Srigala.
c.
Jiwa manusia mempunyai dua daya yaitu praktis dan
teoritis. Daya praktis hubungannya dengan jasad sedangkan daya teoritis
hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini mempunyai empat
tingkatan yaitu:
§
Akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi
untuk berfikir dan belum di latih sedikitpun.
§
Intelektualin habits, yang telah mulai di latih
untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
§
Akal actual yang telah dapat berfikir tentang
hal-hal abstrak.
2.
Metafisika, membicarakan tentang hal-hal berikut.
a.
Wujud Jiwa
Untuk membuktikan adanya jiwa Ibnu Sina mengemukakan
empat dalil yaitu
-
Dalil dalam kejiwaan.
Pada dalil ini didasarkan pada fenomena gerak dan
pengetahuan. Gerak ada dua macam.
Gerak
paksaan yaitu gerak yang ditimbulkan akibat dorongan dari luar.
Gerak
bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu
Gerak
yang sesuai dengan hukum alam seperti, jatuhnya batu dari atas ke bawah
Gerak
yang teerjadi dengan melawan hukum alam.
-
Dalil aku dan kesatuan gejala kejiwaan
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan,
tentang dirinya atau mengajak bicaa orang lain, maka yang di maksud ialah
jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika menyatakan saya keluar atau tidur maka
byukan gerak kaki, atau pemejaman mata yan dimaksud tetapi hakikat kita dan
seluruh pribadi kita.
-
Dalil kelangsungan (kontinuitas)
Dalil ini menyatakan bahwa masa kita sekarang berisi
juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada
hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungannya ini tidak
terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubungannya dengan kehidupan kita
yang terjadi beberapa tahun yang lewat. Dalil kelangsungan Ibnu Sina ini telah
membuka ciri kehidupan yang khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasan
yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad.
-
Dalil orang terbang atau tergantung di udara.
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang
paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut di dasarkan
atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampunnya utuk memberikan
keyakinan dalil tersebut mengatakan sebagai berikut: Andaikan ada seorang
tercipta sekali jadi dan mempunyai eujud
yang semperna. Kemudian di letakkan di udara dengan mata tertutup. Ia tidak
merasakan aapapun. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada. Di
saat itu ia menghayakan adanya tagan, kaki dan organ jasad lainnya,tetapi semua
organ jasad tersebut ia khayalkan bukan bagian dari dirinya. Dengan demikian,
bearti penetapan tentang wujud dirinya bukan hal dari indera dan jasmaninya,
melainkan dari sumber yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa. Dalil Ibnu Sina
tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu hipotesa,
bahwa pengenalan yang berbeda- beda mengharuskan adanya perkara-perkara yang
berbeda beda pula. Seseorang dapat
melepaskan dirinya dari segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar
kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita
ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang
kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang
wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan- pekerjaan jiwa selamanya
menyaksikan adanya jiwa tersebut.
b.
Hakikat jiwa
Definisi jiwa yang dikemukakan oleh Aristoteles yang
berbunyi “kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organis” ternyata tidak
memuaskan Ibnu Sina. Pasalnya definisi tersebut belum memberikan gambaran
tentang hakikat jiwa yang membedaknnya dari jasad. Menurut Aristotelis, manusia
sebagaimana layaknya benda alam ini terdiri dario dua unsur: Madat (materi) dan
Shurat (from). Matei adalah jasad manusia dan from adalah jiwa manusia. From
inilah yang dimaksud Aristoteles dengan kesempurnaan awal bagi jasad.
Implikasinya hancurnya materi atau jasad
akan membawa hancur from atau jiwa. Justru itulah uantuk membedakan
hakikat jiwa dari jasad, Ibnu Sina mendefinisikan jiwa dengan Jauhar.[13]
Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwwa merupakan substansi rohani, tidak
tersusun dari materi – materi sebagaimana jasad. Kesatuan di antara keduanya
bersifat Acciden, hancurnya jasad tidak membawa pada hancurnya jiwa (roh).
Pendapat Ibnu Sina ini lebih dekat pada Plato yang mengatakan jiwa
adalahsubtansi yang berdiri sendiri.
c.
Hubungan jiwa dengan jasad
Adapun menurut Ibnu Sina hubungannya antara jiwa dan
jasad sangat erat, keduanya juga saling mempengaruhi atau saling membantu,
jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya
jiwa. Dengan kata lain jiwa tidak akan tercita tanpa adanya jasad yang di
tempatinya.[14]
d.
Kekekalan Jiwa
Tentang kekekalan jiwa Ibnu Sina lebih cenderung
berkesimpulan sesuai dengan apa yang di sinyalkan Al–Qur’an. Menurutnya jiwa
manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan hancurnya jasad.
Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan
di akhirat, akan tetapi kekalnya ini di kekalkan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, A. Pengantar
Filsafat Islam, Jakarta. PT Bulan Bintang, 1991
Nasution, Harun Filsafat dan Mistisme dalam Islam,
Jakarta, Bulan Bintang, 1973
--------. Filsafat Agama, Jakarta, Bulan
Bintang, 1973
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka
Cipta, 2004
Zar, Sirojudin, Filsafat Islam Jakarta: PT Raja
Erfindo Persada, 2004
--------. Konsep Penciptaan Alam dalam Pemeliharaan
Sain dan Al – Qur’an, Jakarta: Rajawali Perss, 1994
[1] Sirojudin
Zar, Filsafat Islam (Jakarta: PT Raja Erfindo Persada, 2004), hal. 65.
[2]
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 38.
[3] Ibid.,
hal. 38.
[4] A.
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta. PT Bulan Bintang, 1991),
hal. 94.
[5] Sirojuddin,
Pengantar Filsafat Islam…, hal. 87.
[6] Harun
Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 74.
[7] Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), hal. 29.
[8] Sirojudin,
Filsafat Islam, hal.
[9] Sirojudin
Zar, Filsafat Islam , hal. 100.
[10] Ibid.,
hal. 100.
[11] Sirojudin
Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemeliharaan Sain dan Al – Qur’an,
(Jakarta: Rajawali Perss, 1994), cet I, hal. 180.
[12] Sirojudin
Zar, Filsafat Islam,…., hal. 104.
[13] Ibid,
hal. 110.
[14] Ibid,
hal. 110.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar